Jarum
jam menunjukkan pukul 03.00 dinihari saatnya aku harus bergegas meninggalkan
pondok kecilku. Walaupun kabut masih setia menemani deringan jangkrik ditengah
kebun singkong.
“Huaaaaammmm…”
aku berteriak sekeras mungkin untuk menyemangati diri dan menggiring mata
agar mau melupakan rasa ngantuk yang mendera. Semoga, teriakanku itupula bisa
membuat babi hutan menjauh dari pagar singkongku.
Jerigen-jerigen
kosong ukuran lima liter sebanyak delapan buah sudah menantiku, rasanya ia
telah lama melambaikan tanganya untuk segera diisi. Pemikul yang terbuat dari
kayu gamal dengan panjang 1,5 meter segera kuraih lalu kukaitkan seluruh
jerigen kosong itu.
Berbekal
senter sakit andalanku, kulangkahkan kakiku perlahan menyusuri hutan, bukit,
dan tanjakan untuk menuju kesumber mata air satu-satunya di jarak 5 kilometer
dari kebunku. Berbagai bunyian aneh entah hewan jenis apa menjadi irama musik
pengiring langkahku seraya ia berdendang bag lagu dangdut era 80an.
Aku
sudah terbiasa dengan semua itu, karena menurutku semua mahkluk di dunia ini
punya keinginan yang sama yakni bertahan hidup. Walaupun terkadang beberapa
raungan aneh, siulan, bunyi telapak yang berjalan mengikutiku sering
membuat bulu kuduk merinding. Aku memaklumi semua itu mungkin aku telah mengusik
istrahat mereka.
Seluruh
jerigen kuisi penuh, lalu menyebur sejenak ke sungai kecil untuk membersihkan
badan. Memang untuk waktu tersebut air masih sangat dingin, apalagi sungainya
terletak dibawah pohon-pohon rindang. Untungnya aku sudah terbiasa dengan
kondisi itu.
Suara
ayam hutan sudah ada yang berkokok, pertanda aku harus bergegas meninggalkan
tempat wisataku. Kali ini, aku harus mempersiapkan fisik karena harus memikul
beban 40 liter air dengan kondisi jalan yang lumayan berat. Dengan usiaku yang
baru 15 tahun, pekerjaan tersebut butuh perjuangan ekstra, namun aku telah
diajarkan sejak kecil oleh orang tuaku untuk tidak cengeng.
Selain
beban dan tantangan medan yang kulalui, waktu berjalanpun aku harus cepat
karena jam 05.00 pagi aku harus bersiap-siap untuk kesekolah.
“Alhamdulillah…,”
ucapku setiap sampai ke pondok dengan selamat dan tepat waktu tanpa hambatan.
Kuambil
beberapa singkong yang sudah kurebus malamnya, lalu kulahap dengan lezat
ditemani kukusan daun papaya sebagai pelengkapnya. Rasanya, tak ingin
meninggalkan periuk sebelum isinya habis.
Waktu
menunjukkan pukul 05.30 saatnya bergegas kesekolah yang jaraknya kurang lebih 7
kilometer. Kendaraan setiaku yakni dua pasang sepatu merek warrior telah
menantiku, namun aku harus berjalan kaki tanpa alas sejauh 3 kilometer untuk
mencapai jalan beraspal melewati hutan yang pasti berembun. Sayang jika
kendaraanku itu kugunakan mulai dari pondok pasti usianya tidak akan
panjang.
Sepatu
kutenteng pakai kresek, agar terhindar dari basahan embun yang menempel
disetiap rerumputan yang menyenggolku. Aku memiliki langganan tetap untuk
membersihkan kaki setelah mencapai jalan beraspal. Sumur pamanku itulah
yang sangat berjasa dalam memperpanjang usia sepatuku.
Jarak
kesekolah harus kutempuh selama 1,5 jam karena jam 7.15 sudah apel pagi dan
pagar sekolah telah ditutup. Untuk masuk kedalam jika terlambat, harus
berhadapan dengan tongkat besi milik Pak Max, seorang security sekolahku yang
dikenal cukup kejam. Ia tak segan-segan menghantamkan besinya itu ke tulang
kering setiap siswa yang terlambat kesekolah baik cewek maupun cowok.
Disekolah,
aku pulang jam 14.00 wita, dan harus menyiapkan tenaga ekstra untuk kembali
berjalan kaki menuju istanaku yang tamannya dihiasi pohon singkong. Tak ada
jajan untuk sekedar menopang tenaga apalagi untuk biaya naik angkot menuju
sekolah.
Lelah,
dan lapar sudah pasti menyambutku sepulang dari sekolah, namun harus sabar
karena mesti masak terlebih dahulu untuk bisa makan. Untuk menghibur diri,
sepanjang perjalanan pulang, aku bernyanyi-nyanyi kecil.
Pukul
16.00 wita, aku kembali ke pondok, mempersiapkan makan siangku, istrahat 30
menit sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang diberi guru sekolah. Lalu
mengecek seluruh pagar kebun apakah aman atau ada yang rusak akibat
tubrukan babi hutan. Jika ada kerusakan maka aku harus segera memperbaikinya
sebelum matahari terbenam.
Begitu
setiap harinya aku lalui dengan kerja keras, semangat, tanpa putus asa, dan
terus bersyukur bahwa masih ada orang-orang yang tidak seberuntung aku. (Bagian
I).