Nabi Musa a.s. memiliki umat yang sangat banyak,
pada masa itu umur manusiapun panjang-panjang. Ada yang sangat kaya dan ada pula
yang sangat miskin. Hingga suatu hari, ada seorang yang miskin datang menghadap Nabi Musa a.s.. Begitu miskinnya,
pakaiannya compang-camping dan sangat lusuh berdebu.
Si miskin berkata kepada Musa a.s., “Ya Nabiullah, Kalamullah, tolong
sampaikan kepada Allah Swt permohonanku ini agar Allah Swt. menjadikanku orang
yang kaya.”
Nabi Musa a.s. tersenyum dan berkata, “Saudaraku, banyak-banyaklah kamu
bersyukur kepada Allah Swt.” Si miskin agak terkejut dan kesal, lalu ia
berkata, “Bagaimana aku mau banyak bersyukur, aku makan pun jarang, dan pakaian
yang aku gunakan pun hanya satu lembar ini!”.
Akhirnya si miskin itu pulang tanpa mendapatkan apa yang diinginkannya.
Lalu seorang kaya datang menghadap Nabi Musa a.s.. Badannya bersih,
pakaiannya pun rapi. Ia berkata kepada Nabi Musa a.s., “Wahai Nabiullah, tolong
sampaikan kepada Allah Swt permohonanku ini, agar menjadikanku seorang yang
miskin, terkadang aku merasa terganggu dengan hartaku itu.”.
Nabi Musa a.s. pun tersenyum, lalu ia berkata, “Wahai saudaraku,
bersyukurlah kepada Allah Swt”. Ia menjawab, “Ya Nabiullah, bagaimana aku tidak
bersyukur kepada Allah Swt?. Allah Swt telah memberiku mata yang dengannya
aku dapat melihat, telinga yang dengannya aku dapat mendengar. Allah Swt
memberiku tangan yang dengannya aku dapat bekerja dan telah memberiku kaki yang
dengannya aku dapat berjalan, bagaimana mungkin aku tidak mensyukurinya?”
Akhirnya si kaya itu pun pulang ke rumahnya.
Dikisahkan, si kaya itu semakin kaya. Allah Swt tambah kekayaannya karena
orang kaya itu selalu bersyukur. Sebaliknya, si miskin menjadi bertambah
miskin. Allah Swt mengambil semua kenikmatan-Nya sehingga si miskin itu tidak
memiliki selembar pakaian pun yang melekat di tubuhnya. Ini semua karena ia
tidak mau bersyukur kepada Allah Swt.
Jika mengejar kekayaan dudunia ini, adakah orang yang
lebih kaya di dunia ini melebihi Nabi Sulaiman Alaihissalam. Baik di masa lalu,
di masa kini, maupun di masa datang.? Tentu tidak ada.
Walaupun begitu, Nabi Sulaiman tidak pernah
sombong dan membanggakan diri. Ia justru sering merasa takut jika kelak menjadi
orang yang kurang bersyukur karena kekayaan. Itulah sebabnya ia selalu berdoa agar senantiasa
diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Doa Nabi Sulaiman ini diabadikan
oleh Allah Ta’ala dalam al-Qur`an.
“Ya Tuhanku, berilah aku hidayah
supaya aku bersyukur atas nikmat yang Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu
bapakku, dan supaya aku melakukan kebajikan yang Engkau ridhai, dan dengan karunia rahmat-Mu,
masukkanlah aku ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang baik-baik,” (An-Naml
[27]: 19).
Al-Qur`an juga memberi contoh
sosok manusia yang kaya tapi sombong. Dia adalah Qarun. Di akhir hayatnya, Qarun tidak
bisa menikmati kekayaannya. Bahkan, ikut tenggelam di Laut Merah bersama
Fir’aun.
Hidayah
Bersyukur
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam (SAW) tidak tergolong kaya. Namun, beliau diberi nikmat luar biasa besar
oleh Allah Ta’ala. Adakah nikmat yang lebih besar melebihi nikmat Kerasulan?
Dan, beliau senantiasa mensyukuri nikmat ini.
Aisyah Radhiyallahu Anha
menceritakan, suatu malam Rasulullah SAW bangun dari tidurnya, kemudian
berwudhu dan shalat. Saat i’tidal, ruku, dan sujud, air mata beliau menetes
hingga membasahi pipinya. Selesai shalat,
beliau menengadahkan tangannya ke atas, memohon doa kepada Allah Ta’ala sambil
menangis. Kemudian, beliau melanjutkan shalatnya, sementara air matanya terus
mengucur, sampai akhirnya terdengar Bilal mengumandangkan azan subuh.
Esok harinya, ‘Aisyah bertanya
dan menegaskan bahwa bukankah Allah Ta’ala telah menjamin akan mengampuni
dosa-dosa beliau? Tapi beliau menjawab, “Tidak pantaskah aku menjadi hamba yang
bersyukur?”.
Tak Ada Alasan.
Banyak orang yang menganggap jika
Nabi Sulaiman bersyukur, itu pantas. Sebab, karunia kekayaan yang diberikan
kepada beliau begitu melimpah. Begitu juga Nabi Muhammad SAW, wajar jika harus bersyukur karena diberi nikmat
berupa kenabian.
Lalu, bagaimana orang-orang miskin dan awam
bersyukur?.
Pertanyaan seperti itu mestinya
tak pantas keluar dari mulut orang yang berakal. Sebab, karunia Allah Ta’ala
untuk manusia sudah teramat banyak. Bahkan kepada orang kafir sekali pun. Baik
nikmat yang bersifat asasi, yaitu nikmat yang dibawa manusia sejak sebelum
lahir, maupun nikmat yang diterima manusia sewaktu-waktu.
Allah Ta’ala berfirman,”Dan kalau
kamu hitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya, sesungguhnya
Allah itu Maha Pengampun dan Maha Penyayang. (An-Nahl [16]: 18).
Sederhana saja. Perhatikan tubuh
kita. Tak usah yang rumit-rumit, cukup anggota tubuh yang vital-vital saja.
Tanyakan pada diri sendiri, siapakah yang menjadikan semua itu laksana
instrumen yang lengkap, canggih, otomatis, dan berfungsi secara serentak? Ini
merupakan nikmat yang bersifat asasi dan fitri. Semua manusia akan merasakan
nikmat tersebut.
Al-Qur`an menegaskan:,”Dan Allah melahirkan kamu dari perut ibumu tanpa
mengetahui apapun. Dan (kemudian) kamu diberi-Nya pendengaran, penglihatan, dan
hati, supaya kamu bersyukur. (An-Nahl [16]: 78).
Karena itu, tak
usah menjadi “orang pintar” untuk bersyukur. Sebab, begitu jelas dan gamblang
kenikmatan yang dilimpahruahkan Allah Ta’ala kepada kita.
Tak sebatas memberi alat-alat
yang vital seperti mata, telinga, dan hati untuk mempertahankan hidup, tapi
segala ciptaan-Nya di muka bumi telah ditundukkan untuk memenuhi hajat hidup
kita. Segala sesuatu
yang ada di alam raya ini, sejak dari tanam-tanaman, binatang ternak, logam,
semua ditundukkan agar dapat dimanfaatkan manusia.
Al-Qur`an menegaskan,”Dan suatu
tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami
hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya
mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami
pancarkan padanya beberapa mata air, supaya mereka dapat makan dari buahnya,
dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak
bersyukur? (Yasin [36]: 33–35).
Ayat ini diakhiri dengan
pertanyaan “afalaa yasykuruun,” mengapa mereka tidak bersyukur? Sebenarnya di
balik pertanyaan ini ada kewajiban bagi manusia untuk bersyukur kepada-Nya.
Bersyukur hukumnya wajib bagi setiap hamba-Nya. Orang-orang yang tidak bersyukur adalah orang yang tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih.
Bersyukur hukumnya wajib bagi setiap hamba-Nya. Orang-orang yang tidak bersyukur adalah orang yang tak tahu diri dan tak tahu berterima kasih.
Bikin Makmur
Allah Ta’ala sama sekali tidak
mendapat keuntungan apapun dari sikap syukur manusia. Sebaliknya, kesyukuran
manusia itu manfaatnya kembali kepada mereka sendiri.
Disembah atau tidak, disyukuri
atau tidak disyukuri, sama saja bagi Allah Ta’ala. Ke-Besar-an dan
ke-Agung-an-Nya tak bertambah sekalipun seluruh manusia memuji dan bersyukur
kepada-Nya.
Sebaliknya, sekiranya seluruh
manusia menolak untuk memberi pujian dan berterimakasih kepada-Nya, tak
sedikitpun ke-Besar-an dan ke-Agung-annya berkurang. Jika manusia bersyukur,
maka manfaatnya akan kembali kepada mereka sendiri.
Allah Ta’ala
menyatakan,”Barangsiapa yang bersyukur maka hal itu adalah untuk (kebaikan)
dirinya sendiri. Barangsiapa yang ingkar, sesungguhnya Tuhan itu Maha Kaya dan
Maha Mulia.” (An-Naml [27]: 40).
Orang yang bersyukur semakin
bening hatinya, bertambah dekat hubungannya dengan Sang Pencipta, dan semakin
menyadari betapa nikmat yang dirasakan selama ini merupakan karunia Ilahi yang
harus digunakan untuk kebaikan, baik untuk dirinya maupun sesamanya. Tidak
egois dan tidak mementingkan diri sendiri.
Kenikmatan yang dikaruniakan
kepadanya ingin segera dibagi. Orang yang bersyukur tak suka hidup bahagia
sendiri. Mereka ingin agar orang lain merasa senang dan bahagia sebagaimana
yang mereka rasakan. Otomatis hidupnya pun akan semakin bahagia.
Kesyukuran itulah yang akan
menambah nikmat berlipat ganda, setidaknya menambah ketenangan jiwa karena
orang yang bersyukur akan terhindar dari stres dan tekanan batin.
Allah Ta’ala berfirman:Jika kamu bersyukur, maka Aku akan menambah (nikmat) itu kepadamu, dan jika kamu ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih. (Ibrahim [14]: 7).
Allah Ta’ala berfirman:Jika kamu bersyukur, maka Aku akan menambah (nikmat) itu kepadamu, dan jika kamu ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku sangat pedih. (Ibrahim [14]: 7).
Kufur Bikin
Hancur
Bagi orang-orang yang enggan
bersyukur, azab Allah Ta’ala tak segan-segan ditimpakan kepada mereka, baik
saat masih di dunia maupun di akhirat kelak. Berikut ini cuplikan al-Qur`an: Dan Allah telah membuat suatu
perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya
datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya)
mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka
pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.
(An-Nahl [16]: 112).
Untuk
menggambarkan akibat buruk yang ditimbulkan oleh ketidaksyukuran kepada Allah
Ta’ala, al-Qur`an merekam sejarah tentang Negeri Saba’.
Mulanya negeri yang dikenal
sebagai baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur (negeri yang aman, makmur,
mendapatkan limpahan ampunan dari Allah Ta’ala) itu hidup sejahtera. Lalu,
penduduknya tidak bersyukur. Akibatnya, mereka ditimpa musibah yang luar biasa.
Tema tentang negeri Saba’ itu bahkan menjadi salah satu nama surah al-Qur`an.
Sekarang, mari kita merenung sejenak.
Apakah kita sudah merasa aman dari azab Allah Ta’ala? Pastinya belum! Padahal
sejujurnya, kita belum betul-betul bersyukur kepada Allah Ta’ala.
Semoga bermanfaat, wass