Disuatu
desa yang sangat terpencil, hiduplah seorang wanita yang cantik namun kesehariannya
sangat menderita. Untuk bertahan hidup Ia terpaksa berkebun dan menanam sayur
untuk dijual kepasar dan membeli kebutuhan makanannya. Ia tinggal sangat jauh
dari penduduk desa yang lain sehingga tak banyak yang mengenalnya.
Suatu
ketika ia merenungi nasibnya yang sehari-hari hanya dijalaninya sendiri tanpa
saudara, keluarga, teman ataupun tetangga. Situasi tersebut mulai dirasakannya
ketika usianya menginjak 22 tahun.
Malam
mulai menunjukkan jati dirinya, udara yang dingin, sayup-sayup angin mulai
menyapa jemari-jemari lentik gadis bernama Annisa itu. Selembar sarung usang
ditariknya dari pinggir perapian untuk menghangatkan badan lalu tidur dilantai
bambu beralaskan tembikar.
Suatu
malam, Ia bermimpi bertemu dengan seorang kakek dan mengajaknya jalan-jalan ke
sebuah Istana raja yang sangat mewah. Seluruh sisi bangunan berhiaskan berlian,
kursi-kursinya bertahtahkan emas dan perak, disetiap meja tersedia buah-buahan
segar dan daging panggang. Dimana makanan tersebut tidak pernah ia rasakan
selama ini.
Ketika
terbangun, Ia kembali berhayal, andai saja Ia berada di istana itu maka ia akan
makan sepuasnya dan tidur dengan nyeyak.
Keesokan
harinya, berangkatlah Ia kepasar dengan berjalan kaki puluhan kilometer,
seperti biasa Ia membawa beberapa jenis sayuran untuk ditukarnya dengan telor,
singkong, dan garam. Ketika hendak meninggalkan pedagang garam, tiba-tiba
seorang pemuda tampan menyapanya dengan lembut sambil menawarkan dagangannya
berupa dua botol madu.
“Maaf
nona, maukah anda membeli dagangan saya ini,?” kata pemuda itu sambil
mengangkat botol madunya kedepan Annisa.
“Maafkan
saya, saya tidak memiliki uang, jika anda berkenaan saya akan membawakan
beberapa jenis sayuran yang anda sukai untuk ditukarkan dengan madu itu,” kata
Annisa dengan senyum.
“Hahh.?
madu seperti ini mau ditukar dengan sayur.?” Mata kamu buta yah.? jual
kecantikannya biar punya uang..!,” Kata Pemuda itu dengan nada tinggi, sambil
meninggalkan Annisa.
Mendengar
hinaan tersebut, Annisa terdiam seketika, tubuhnya lemas seperti halilintar
telah menyambarnya. Iapun pulang kegubuknya dengan langkah tak beraturan.
Seluruh belanjaanya Ia lempar begitu saja didalam gubuk ketika sampai, hingga telor
bawaanya satu-satunya pecah berantakan. Ia tak lagi peduli akan barang-barang
yang menopang hidupnya untuk beberapa hari kedepan itu.
Siang malam Ia hanya hanya baring menangis, air matanya membasahi seluruh pakaiannya, matanya membengkak, suaranya hilang tertelan isak tangis. Hingga tak sadar dari matanya sudah mengeluarkan darah.
“Permissi..!!..apa
didalam ada orang.?” teriak suara sembab yang datang dari pojokkan gubuk tempat
Annisa.
Karena
sudah beberapa hari Annisa tidak makan, Ia tak lagi berdaya sekalipun hanya
untuk mengucapkan satu kata “Iya” menjawab suara yang belum jelas asal usulnya itu.
Selang
beberapa saat, muncullah seorang nenek tua berambut putih menggunakan tongkat
duduk ditangga gubuk milik Annisa yang tingginya kurang lebih 2 meter dari
permukaan tanah.
Perlahan
Annisa bangkit dari pembaringannya, sambil mempersilahkan nenek tersebut untuk
masuk menggunakan bahasa isyarat karena Ia tidak dapat lagi mengeluarkan suara
seperti biasa.
Nenek
tua itu berusaha meraih sakunya.
“Ini
nak, titipan dari seseorang..,” kata Nenek tua itu, sambil berpamitan pergi.
Rupanya,
nenek tua itu mengantarkan selembar surat untuk Annisa yang berisi ;
Kini engkau telah dewasa
Ketegaran menjadi hartamu
Kemandirian menjadi gubuknya
Dan engkau telah mempertahankan ketangguhanmu itu.
Kecantikanmu adalah berlian
Kebaikanmu adalah doa
Dan engkau telah memelihara keduanya
Seperti engkau memelihara kebun yang menghidupimu
bertahun-tahun
Maafkan Ibu yang telah mengasingkanmu
Beberapa bulan lalu, ayahmu telah dipanggil oleh Yang
Maha Kuasa
Dan kini engkau telah aman kembalilah kerumah dikota
seberang.
Engkau telah dinanti oleh ribuan pekerja perusahaan ayahmu.
Dari Ibu yang merindukanmu
(Bersambung..).