Kebakaran Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah, pada Sabtu malam (27/12),
memang cukup mencengangkan. Diluar dari pada hitung-hitungan kerugian
yang dialami para pedagang, pasar itu kini mulai menimbulkan banyak
pertanyaan dibenak kita “bagaimana bisa terbakar?”.
Sejatinya jawaban itu menjadi kewenangan para penegak hukum setelah
melakukan penyidikan. Tetapi nampaknya dilapangan situasinya berbeda,
sudah banyak pihak-pihak yang menyimpulkan bahwa kebakaran salah satu
icon Solo tersebut diduga disengaja oleh pihak-pihak tertentu.
Jika ditarik benang merah dari kesimpulan tersebut, lalu siapa yang
memiliki kepentingan dari kebakaran itu?. Pertanyaan ini cukup sederhana
dan jawabanya juga bisa didapatkan jika kita bersedia menunggu pasca
kebakaran. Caranya cukup melihat akan ada bangunan apa ditempat itu
pasca kebakaran.
Mari kita berkunjung sejenak di Provinsi Sulawesi Tenggara, tempat
dimana ada tiga pasar sentral kota Kendari yang berada tepat di jantung
kota. Pertama, pasar Wua-Wua, kedua pasar Mandonga, dan ketiga pasar
Kota. Ketiga pasar ini masing-masing cukup strategis tetapi mengalami
nasib yang sama yaitu sama-sama terbakar.
Ketiga pasar itu mengalami kebakaran berkali-kali hingga rata dengan
tanah. Kini ketiga pasar itu berubah wajah, sama-sama menjadi pasar
modern atau mall dan salah satunya dimiliki oleh pihak swasta.
Lalu bagaimana nasib para pedagang tradisional yang menempati pasar
itu sebelumnya? Mau tidak mau mereka harus merogoh kocek lebih dalam
untuk membayar sewa tempat yang baru. Sebenarnya jika melihat fungsinya
yang modern, tidak jadi masalah bagi mereka pemilik modal cukup.
Tetapi bagi mereka yang memiliki keterbatasan permodalan, maka secara
otomatis akan tersingkir. Inilah yang menjadi ketakutan banyak para
pedagang ketika pasar tradisional mereka digusur dan ditawari dengan
konsep yang baru.
Ketakutan itu menjadi sebuah tembok raksasa yang kerap dihadapi oleh
pemegang tampuk kekuasaan ketika kebijakan mereka harus diterapkan. Bisa
dibayangkan, pemerintah harus berhadapan dengan ratusan bahkan ribuan
jiwa jika ingin merubah konsep pasar tradisional. Tembok raksasa itu
akan sulit ditembus melalui jalur negosiasi damai atau jalur dialog.
Kondisi itu menyebabkan lahirnya kebijakan yang namanya “Kebijakan
Tangan Besi” alias kebijakan terakhir yang akan memaksa para pedagang
tersingkir secara otomatis. Dengan apa? Tepatnya adalah kebakaran.
Konsep kebakaran ini punya keampuhan dalam penerapan kebijakan secara
cepat dan tepat walaupun harus mengorbankan para pedagang. Dan di
Indonesia sendiri, konsep seperti ini bukan menjadi sesuatu yang baru.
Mungkinkah Pasar Klewer juga demikian? Entahlah, yang jelas kebakaran
pasar yang diresmikan sejak Juni 1971 itu terjadi ditengah rencana
revitalisasi Pasar Klewer. Dan sejauh ini sebagian besar para pedagang
masih keberatan karena khawatir akan membuat penghasilan menurun
drastis.
Jawaban yang lebih simpel sebenarnya bisa diperoleh di seputaran para
pedagang setempat. Dan mereka bisa memiliki asumsi sendiri karena
merekalah yang mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan.
Kebakaran Pasar Klewer memang banyak disesalkan oleh para pihak bukan
saja datang dari Pulau Jawa, tetapi dari berbagai pelosok tanah air.
Kecintaan mereka akan pasar yang terkenal dengan batiknya itu tak bisa
disembunyikan. Bahwa mereka juga ikut prihatin dengan kondisi yang
dialami saudara-saudaranya di pasar Klewer.
Semoga para pedagang di Pasar Klewer dibangkitkan semangatnya,
dilimpahkan lebih banyak lagi rejekinya. Ditabahkan hatinya serta diberi
kemudahan akan apa yang menjadi rencana dan harapannya kedepan. Aamiin
Aamiin Aamiin yrb.
Sunday, 28 December 2014
Subscribe to:
Post Comments (Atom)