Kau tahu? Sebenarnya
aku punya kekuatan untuk menggetarkan bibirku hingga memecah belah ketenangan langit-langit rumah. Tetapi itu tak
mungkin, karena tanganku tengah gagah memegang kendali untuk merencanakan
perjalanan indah di samudera ini.
Aku tak meminta
terimakasih atas lelahku atau meminta kau menyambutku dengan senyum walaupun
itu hambar. Aku juga tak menuntut kau memuliakanku bag raja dalam singasana
bertahtahkan emas dan berlian. Dan aku takkan memaksa lututmu tertekuk selain
didepanNya.
Aku terlihat kuat,
dan bagiku itu sebuah pilihan wajib yang harus kulekatkan di dada kananku ketika
tangan kiriku tak kuasa lagi mengelus pundaku sendiri yang terlelap.
Aku terus berdiri
tegap dihadapanmu untuk membuktikan bahwa ucapanku dulu tak terabaikan. Takkan
kubiarkan bening-bening putih melintas tak sengaja apalagi sampai pamit untuk menghalangi
pandanganku. Biarlah aku hanya memandangi kecantikanmu dan senyum malaikat siang
malamku.
Aku tak memaksamu
tahu bahwa aku bertaruh dengan waktu yang kapan saja bisa memintaku berhenti
berlari. Yang aku tahu aku harus terus berlari…dan berlari.
Tak ada rasa perih
yang kulekatkan walaupun prasangka-prasangka gelap yang teramat mudah terlahir begitu
ramai mengisi waktuku. Aku akan tetap membalas semua itu dengan kecupan sayang.
Dan dalam diamku ini
telah kulahirkan sejuta kecupan yang terus tumbuh sebagai benih kasih sayang
ditengah beling-beling yang terus melukai telapakku. Aku akan terus berjalan sambil
memeluk erat awan gelap.
Ribuan pesan terucap
dari bibir polosmu yang tengah menggigil kedinginan, ia dengan damai mengalir
menelusuri sungai-sungai tua yang tidak lagi memberi ruang bagi ikan-ikan. Daun-daunpun berguguran mengeluh atas cahaya mentari
pagi. Sementara wanita renta ditepi sungai itu sibuk memberi seteguk air kepada
anaknya.
Sampai kapan lentera
itu terabaikan?
Kan kubiarkan
pundakku melegam dibawah terik lalu tertidur dengan mata lelah. Biarlah aku mengelus
dadaku dalam heningnya malam agar malaikat menyaksikannya.