Andai saja malam itu dapat kutangisi, maka
akulah orang pertama yang akan memohon padamu agar segera menerbitkan mentari sebagai
alasan untuk menyeduh kopi pahit dan menyandarkan pundakku dikursi teras depan
rumah tetangga.
Ah…rasanya tak sabar aku menanti pagi untuk sekedar merayakan kemenanganku yang sesat ditengah bayang-bayang orang lain. Aku merindukan itu semua tanpa harus berpura-pura lupa atau berlagak bodoh untuk sebuah kenikmatan.
Hey, aku memanggilmu malam ini dan sahutilah itu walau sekata melalui jendela kecil diruang kamarmu yang gelap segelap bathin seorang laki-laki pendosa. Aku berharap kau membawaku dalam igauanmu ketika terlelap dipelukan sang pengembara yang meronta dan meminta segera kau lepas dari dekapanmu. Hmm…guling itu, menghalangiku.
Bayang-bayangmu semakin sulit dijangkau bahkan siangpun berbisik padaku bahwa kau sungguh keras kepala. Lirikan-lirikan genit mulai mengawali senyumku yang terbawa malam, dan kaupun mulai terpana dalam mimpimu bahkan memanggilku sang Pangeran tampan dari Haiti.
Kesempurnaan itu aku rasakan semakin dekat semakin hangat, jiwa manismu dan hati kecilku mulai bersambut tanpa desahan. Kau berkata iyah, dan akupun menyambut gembira, karena kau membawaku semakin jauh dalam keindahan.
Tersenyum, termenung, dan terkesimah, mungkin itu hal normal untuk pandangan ini yang bersambut dengan angin-angin penggerayang bathin. Desahan-desahan kecil yang lahir dari ruang sebelah, seakan meloloskan penasaranku untuk segera memastikan dari titik kecil sisa paku tumpul yang gagal menembus papan.
Sialan…., koran bekas yang menempel ini membuat birahiku tertunda mendapatkan gelar detektif sejati. Dan sudahlah…aku menyesal 10 tahun lalu tak sempat menyelesaikan jurus kanuragan dari seorang guru di sebuah kota kecil.
Untuk malam ini biarlah aku gagal sebagai murid, dan kau tidurlah seperti kehendak orang lain yang menatapmu cantik ketika terbangun dengan rambut terurai berantakan, dan jalan sempoyongan berharap papahan dariku. Akupun takkan mau memapahmu saat tenagamu untuk berjalan habis terkuras di mimpi, karena itu tak mungkin engkau minta dariku.
Jam menunjukkan pukul 03.00 dinihari, rasanya suasana semakin bersahabat dengan pikiranku yang semakin meninggi. Kau berada tepat dipuncak saat aku membutuhkan sebuah inspirasi untuk bergiat selayaknya seorang seniman professional yang mengejar target.
Kursi kayu depan teras tetangga rupanya layak untuk menemani imajinasiku malam ini dan aku berharap ia lupa bahwa aku hanyalah pendatang baru yang haus akan kenyamanan. Untung saja, gelas putih didepanku ini menjadi alasan kuat keberadaanku.
Tegukan terakhir yang mestinya telah habis 5 jam lalu, sengaja kusisakan untuk menjawab kalimat orang-orang memintaku segera pulang. Nyamuk-nyamuk lapar tak kuhiraukan lagi sebagai konsekwensi kebahagiaan yang ingin kubagikan pada mereka.
Ahh…indahnya, kau datang dengan senyum khas menggoda, tanganmu yang dingin begitu terasa menyentuh harapanku untuk menekkukan malam. Semangatku menggairah untuk segera meraih bibirmu. Denyut jantung yang tak mengira-ngira berjalan tanpa arahan, terpacu dan menggebu-gebu. Hingga akupun teriak. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaah mimpi sialan…
Julhan Sifadi