Kaupun semakin menjauh, semakin samar dipandangan dan
mungkin itu yang mesti kita lalui. Sambil menunggu waktu mencumbui masa lalu
itu dan menghempaskannya jauh keujung sana.
Aku tersedu…aku tertatih…bahkan aku tak mampu merejam
kelamku sebagai laki-laki yang kuat untukmu. Kuhela nafas ini untuk meregangkan
ingatan sejenak yang sudah mulai terengah. Aku mencoba meyakinkan kalbuku bahwa
perjalananku itu sungguh sia-sia dan tak mungkin untuk dilanjutkan.
Renungan senja mengelabui hari-hariku bahwa aku
hanyalah manusia biasa yang takkan selamanya benar dan bersih. Semoga aku bisa
berjiwa besar untuk mengikhlaskan masa lalu itu.
Perbedaanlah yang menjadi alasanku untuk pergi jauh
serta statusku yang tak mungkin mengimamimu dikemudian hari. Tanpa perlu kau
tahu bahwa sesungguhnya begitu menyakitkan bagiku yang belum memiliki penopang
untuk menyandarkan pundakku ketika lelah dengan semuanya.
Kamu begitu sempurna dimata mereka, sehingga waktumu
akan terlewatkan dengan mudah tanpa beban kelam yang sudah-sudah. Tersenyumlah untuk
mereka yang menyayangimu. Berilah hirauanmu itu kepada mereka yang mengkodratkamu
sebagai wanita sejati.
Itu mungkin harapanku sesaat, karena tatapanmu selalu memberi
isyarat kuat untuk merangkulku sebagai penghapus air matamu. Kau datang disaat
seorang laki-laki menjadi normal dan suasana begitu sepi. Sebenarnya aku ingin
menamparmu jika saja tanganku ini diikhlaskan. Menampar mukamu yang cantik itu
yang selalu membuatku menjadi laki-laki sejati.
Berpura-pura lugu dan menangis dihadapanku untuk
menunjukkan bahwa sesungguhnya kau tengah merintih dan tak menikmati masamu
saat ini. Kalimat-kalimat yang keluar dari bibirmu begitu polos seakan itu
bukanlah dirimu. Itu bukanlah kamu yang sekarang ingin merajut senyum yang dulu
hilang.
Jarimu yang tak kenal alamat, menyentuhku dengan sensitif
membuatku terdiam seketika, memaksa otakku untuk bekerja ganda dalam dua bagian
“oohh tidak…”. Aku harus mengakhiri ini, dan maafkan aku harus menamparmu
dengan lidah dan bibirku karena jariku tak ikhlas untukmu. Biarlah kau terluka dan kuharap takkan sembuh
agar kau menilaiku arogan untuk cintamu.
Caplah aku sebagai laki-laki tak berarti untuk sebuah
kehangatan semu yang mungkin engkau harapkan. Jika engkau membutuhkanku, membutuhkan
kasih sayangku, membutuhkan kehangatanku, maka sampaikanlah pesanmu melalui
angin agar tak satupun yang mampu mencatat dosa-dosa kita.
Andai saja pohon sidratul muntaha itu ada dihadapanku,
maka aku akan memanjatnya dan menghitung lembaran daun-daunnya walaupun luasnya
seperti bumi. Biar kupastikan “Siapa
Engkau Yang Sebenarnya”.
Julhan
Sifadi