Desa yang membuatku selalu rindu
dan desa yang mampu mengupas segala lirih yang tertampung dalam bathinku. Sebuah
rumah tua tahun 1970an menjadi saksi tidurku malam itu. Kondisinya yang nyaris
rubuh diterpa gempa berkali-kali dan konstruksinya yang mulai rapuh termakan
usia sebenarnya sempat menggoyahkan keinginanku untuk beristirahat disitu.
Tapi aku merasa lebih nyaman
mungkin karena disitu aku bisa mengenang masa lalu saat usiaku 7 hingga 12
tahun. Memasak di atas tungku tanah dengan kayu bakar dan mandi di sumur.
Sesekali memandang keluar ada
pohon pisang, pohon sukun, rambutan, dan gersen. Sungguh pemandangan itu
mengingatkanku pada masa kecil. Bedanya, kurang lebih 10 meter dari rumah itu sudah bisa terlihat hamparan sawah sementara
masa kecilku dulu hanya melihat hamparan kebun singkong dan jagung.
Kabut-kabut putih begitu akrab
menyapa pagiku dari balik pepohonan rindang dan rumput-rumput liar sekitar
jalan setapak samping rumah. Lantai tanah dalam rumah memperlihatkan
keakrabannya. Ia begitu setia memberi ruang pada lumut-lumut hijau untuk
berkembang.
Rasanya teh tanpa gula pagi ini
cukup menemaniku di kursi besi peninggalan mbah dulu, kripik tempe di meja tak ketinggalan kusantap habis. Begitu
nikmatnya rizki Tuhan padaku hari ini.
Suara Alm.Gesang sangat merdu
terdengar dari balik radio lawas yang sudah disarangi laba-laba. Radio itu
adalah satu-satunya benda paling berharga dalam rumah itu. Dialah yang tak
pernah kalah saing dengan jangkrik-jangkrik dalam rumah untuk memberi hiburan.
Jam telah menunjukakn pukul 13.00,
kok tidak terdengar suara adzan? padahal jarak rumah dari masjid hanya selangkah.
Aku mencoba memperhatikan seluruh jam yang berada di dalam telepon genggamku. Dan
rupanya benar telah melewati waktu sholat Zuhur.
Aku bergegas ke masjid, menyisiri
tembok rumah sambil herparap ada seseorang yang kujumpai sekedar bertanya
apakah Adzanya memang tidak menggunakan pengeras suara.
Hingga didepan pagar masjid tak
seorangpun yang kutemui selain pagar yang tertutup rapi. Mungkin kali ini aku
yang belum beruntung dan terpaksa sholat hanya ditemani angin sepoi-sepoi.
Pukul 14.30 memasuki waktu
Ashar aku mengambil inisiatif untuk lebih dulu mengisi absen yang disediakan
para Malaikat. Hingga waktu Ashar tiba, tak seorangpun hadir di masjid itu
selain Aku. Mic kuraih dan pengeras suara kuhidupkan untuk melantunkan
panggilan sholat. Bermodalkan suara indah saat menyanyi dalam kamar mandi,
kucoba adzan. Berharap ada orang yang mendengar, penasaran lalu mampir untuk
melihat makhluk pemilik suara itu.
Hasilnya? Cukup luar biasa, para
cicak penghuni masjid berdecak kagum seraya menggerak-gerakkan ekornya. Walaupun
aku bukan Nabi Sulaiman yang mengerti bahasa mereka tetapi inilah caraku
mengatasi situasi.
“Oh Tuhan…inikah
sahabat-sahabat yang harus menemaniku nanti?” sambil mematikan sound system.
Sebagai orang baru di
lingkungan itu, aku memang tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melihat
aktifitas masyarakat sekitar sehingga aku tetap berfikir positif bahwa warga
sekitar tengah sibuk dengan kegiatan masing-masing.
30 menit sebelum waktu sholat
Magrib, aku bergegas lagi ke Masjid. Kali ini aku begitu optimis karena waktu
ini warga sekitar pasti terkumpul di rumah masing-masing sehingga mereka
memiliki waktu untuk bersama di masjid.
Mic kembali
kuraih untuk memanggil mereka tak peduli suaraku masuk di Bes Kres Minor atau
Menor. 15 menit kemudian, dari balik pintu masjid sudah terdengar suara air
mengalir dari tempat wudhu.
Ternyata aku benar, bahwa
mereka memang tengah sibuk di siang hari dan hanya memiliki waktu pada
malamnya. Hari itu walaupun Jamaah hanya tiga orang, aku merasa senang setidaknya
tidak ditemani cicak lagi.
Waktu isya aku kembali bergegas
kemasjid untuk melakukan hal yang sama. Dan Alhamdulillah latihan saya 40 menit
yang lalu tidak sia-sia dalam mengolah
suara. Jamaah mengalami perubahan yakni 3 orang lagi. Kok berubah? Iyah..yang
berubah orang-orangnya.
Usai Isya tokoh pemuda setempat
menghampiri jamaah lalu bertanya, “Siapa yang adzan tadi?” mereka serentak
menunjukku. Akupun mulai was-was karena selain tampaknya sangar, rambutnya
gondrong, suaranya juga serak. “Ini pasti preman disini” kataku dalam hati.
Akupun mulai memasang kuda-kuda
sebelum mendapat serangan tiba-tiba dari orang itu. Yang ada dibenakku kala itu
adalah kuda-kuda kapten Subasa tokoh dalam film kartun yang sangat tenar belum
lama ini.
“Oh jenengan toh, kulo yo
penasaran sinten sing adzan, soalnya suaranya berbeda. Yo mas, monggo aku tak
pamit dulu,” kata dia.
Mendengar kata-kata itu, aku
langsung mengelus dada. “Alhamdulillah selamat…!!!”.
Memasuki waktu subuh Pukul 03.30
aku sudah lebih dulu berada di masjid agar bisa berinteraksi dengan warga
sekitar sebelum memulai sholat. Sholat-sholat sunah kukerjakan segera
sambil sesekali melirik kebelakang berharap
ada jamaah yang datang.
Kejadian ini membuatku
mengingat sosok bang Jek dalam film Para Pencari Tuhan 8, yang mengalami nasib
sama di musholanya saat menanti jamaah dan tak satupun yang datang selain keponakannya
si Domino.
Akupun harus menghentikan penantianku
di waktu Subuh kali ini karena waktunya telah tiba. Dan alhamdulillah bisa
sholat sendiri di masjid yang megah dan kokoh itu.
Usai melaksanakan kewajiban, aku
termenung di pojok masjid. Merenungi setiap alunan suaraku, mengoreksi intonasi
dan nadanya. Jangan-jangan ada yang salah sehingga menyebabkan orang tidak
datang ke masjid atau tidak terbiasa mendengar suara fals selain dari Iwan Fals.
Keesokan harinya, seorang pria
paru baya menghampiriku setelah sholat. “Yah…disini memang seperti ini. Kalau
ustadnya tidak ada pasti tidak ada yang adzan. Jamaahnya pun itu-itu saja.
Paling 1 atau dua orang,” kata pria itu.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepala karena kalimatnya mulai tidak kupahami setelah menggunakan bahasa kromo
inggil, kami pun beranjak ke rumah masing-masing. Pagar masjid kututup rapat,
lalu ku tatap dari jauh. Sungguh tepat rumah tempatku tinggal ini.
Keberadaannya mampu memutus bahkan meniadakan alasanku untuk sholat di rumah
sendiri.
Semoga masjid ini tidak menjadi
simbol belaka. Aamiin.