Bibirmu yang dipoles
lisptik merah tersenyum riang sembari mengedipkan mata keyakinan entah karena
engkau berdamai dengan waktu. Tetapi aku yakin itu tidak, kecuali harapan yang
membuatmu melayang hanya satu kata.
Waktu hening
terabaikan dengan sia-sia padahal malaikat telah menanti untuk butiran bening
bagi sang penanti. Entah karena buaian syetan yang mampu berselimut dibalik
kata-kata manis atau ia terlalu licin sampai-sampai jurus copet dua jari tak
mampu beraksi diantaranya.
Tanpa sadar dalam
perjalanan itu telah ada dua pintu yang pasti terlewati. Jalan yang penuh
bisikan-bisikan ghaib bercampur kecemasan untuk melalaikan segala kewajiban dan
mewujudkan kewajiban menjadi keangkuhan bahkan merubahnya menjadi jubbah yang
sok.
Apakah kau ingin
teriak? Yah…mesti, agar isyarat hatimu bisa tersampaikan tanpa harus memberi
cela atas sebuah prasangka.
Mungkin senyum itu
hanya sementara untuk menemami kopi pahit sore saat harga gula mulai naik, dan
petani tebu mulai lesu ingin beralih
profesi sebagai model.
Mencoba memetakan pikiran
didepan kaca kantor selama sejam, dan ternyata Tuhan tidak salah menganugerahi
aku wajah seperti ini. Ini puncak kesyukuranku ketika Drama-Drama Korea, hingga Mahabrata mampu menidurkan kaum
hawa hingga mereka bermimpi dan tak ingat jatuh padahal tidurnya semakin
kepinggir.
Iyah…tersenyumlah
karena itu akan membuatmu malu menatap dirimu didepan kaca. Kecuali kamera 360
yang menyulap prespektifmu menjadi sempurna ala boneka berby.
Aku tak bermaksud
membuatmu lupa karena bukan tugasku untuk mengurangi satu demi satu nikmat Tuhan
padamu. Aku hanya ingin kau memberi ruang agar mereka hanya memelukmu melalui
doa hingga ia mampu menjamin kehalalan atas tindakannya.
Dan jika sepucuk
surat saja tak mampu membendung keluh kesahmu, maka biarlah angin membawanya
pergi. Karena tak ada tinta yang sempurna selain air mata yang menetes di atas sepertiga
malam.
Takkan ada surat
abadi yang akan mampu memenuhi tuntutan jari dan penamu sebelum kau mengubur rasa
kantukmu melalui tidur sebaik-baiknya tidur.