Sebagai
penjual kain saya pernah berfikir bahwa untuk apa sih merek atau brand? Dalam
hati saya bahkan berkata, saya hanyalah penjual kain tenun tradisional dari kampung
yang bahkan dalam peta NKRI nyaris tidak tercatat. Tidak perlu brand untuk
menjual kain sekelas itu. Pikiran saya itu kurang lebih tahun 2007.
Saya
bahkan tega mengindahkan ilmu saya dari Universitas Sulawesi Tenggara Jurusan
Manajemen Perusahaan. Dimana salah satu Dosen pengajar saya pernah membahas
pentingnya brand sebagai identitas sebuah produk. Saya tetap bersikukuh bahwa hal
itu tidaklah tepat untuk kain tenun yang saya jual.
Tahun
2011 saya harus segera menyelesaikan skripsi ditengah tugas dan tanggung jawab saya
di kantor yang semakin padat. Karena alasan itu, saya mengambil kesimpulan
untuk melakukan penelitian terkait apa yang saya geluti.
“Hubungan
antara ekonomi dan politik terhadap peluang
bisnis pembuatan kain tenun adat di Kelurahan Bone-Bone Kecamatan
Murhum Kota
Baubau” saya gunakan sebagai judul dalam
penelitian saya. Dan kurang lebih 3 bulan melakukan penelitian, hasilnya cukup
baik bahwa terdapat hubungan positif yang sangat
signifikan antara ekonomi dan peluang bisnis yang ditunjukkan dengan koefisien
korelasi ry1 = 0,459 dan koefisien determinasi r2y1
= 0,2106 serta uji t = 3,615.
Skripsi saya itu
mendapat nilai A, dan saya berhasil menjadi lulusan terbaik di Universitas
Sulawesi Tenggara. Gubernur Sultra Nur Alam, juga langsung memberikan apresiasi
dalam bentuk uang tunai.
Saya bangga luar biasa
karena saya mampu menyelesaikan kuliah dengan biaya sendiri dan mendapat
predikat terbaik.
Disisi lain, saya merasa dihantui oleh judul skripsi saya itu.
Uneg-uneg mulai berseliweran di otak terkait hasil penelitian saya itu. Yang
jadi persoalan bukan benar atau tidaknya penelitian saya tetapi bagaimana
mengimplementasikan hasil penelitian itu dalam tindakan nyata.
Kondisi ini menjadi
awal pembuka pikiran saya bahwa Tenun Buton perlu mendapat sentuhan marketing. Tahun
2012 saya melakukan sebuah tindakan yang banyak mendapat ejekan dari
kawan-kawan saya. Setiap melakukan perjalanan baik dalam daerah di Sultra
maupun di luar Sultra, seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Sumatera Barat,
dan lainnya, saya selalu mengenakan Tenun Buton di leher saya.
Tujuannya bukan karena
saya seorang yang ingin tampil aduhai, atau yang paham dengan fashion melainkan
saya ingin melihat respon orang terhadap apa yang saya kenakan itu. Hasilnya,
di beberapa daerah tempat saya berkunjung mendapat sambutan positif.
Pertanyaan-pertanyaan menarik mereka lontarkan, mulai dari kain yang saya
kenakan, asal muasalnya, hingga maknanya.
Sejak itu saya mulai
membuat blog www.tenunbuton.blogspot.com
tujuannya adalah untuk memperkenalkan Tenun Buton lebih luas. Tulisan tentang
Tenun Buton saya publish satu demi satu beserta gambarnya. Blog saya ini pernah
bertahan beberapa bulan di peringkat teratas dalam pencarian google. Walaupun
sempat turun namun saat ini bertahan di peringkat ke dua atau ketiga.
Menyadari efec dari
kemampuan media sosial, saya melebarkan sayap ke facebook dengan akun www.facebook.com/tenun.buton
atau bernama Tenun Buton. Harapan saya adalah bisa berinteraksi langsung dengan
para sahabat media sosial. Hasilnya tidak diguda-duga, dalam waktu 3 bulan saya
sudah mendapat ajakan pertemanan kurang lebih 1.000 orang. Dan terus mengalami
peningkatan hingga saat ini hampir 5.000, diluar follower di halaman Tenun
Buton.
Penambahan jumlah teman
di facebook, rupanya semakin banyak ilmu yang bisa dipetik. Setiap hari saya
tak pernah lepas dari media sosial hanya untuk memantau perkembangan pasar online shop khususnya yang berbau produk
etnik Nusantara. Saya terus belajar, membaca buku, berinteraksi dengan para
pengusaha yang lebih dulu sukses di Jakarta, lalu perlahan saya coba terapkan.
Khsusu Tenun Buton, dari
sisi pemasaran produknya memang membutuhkan
keuletan dan perlakuan istimewa. Harga produknya yang dinilai mahal banyak
pihak hingga proses pengerjaannya yang memakan waktu lama dikarenakan prosesnya
yang saya pertahankan untuk dilakukan secara tradisional sebagaimana sejarah
kain itu sendiri menjadi tantangan menarik. Tetapi mau tidak mau kondisi itu harus
ditaklukkan.
Kurang lebih setahun
saya belajar untuk meyakinkan banyak pihak bahwa apa yang saya jual adalah
bukan semata untuk mendapat keuntungan. Melainkan memperkenalkan budaya Tenun
Buton dari Provinsi Sulawesi Tenggara. Setiap lembar kain saya ceritakan proses
pembuatannya hingga makna-makna yang terkandung didalam kain. Alhasil, mereka
yang tadinya menilai produk Tenun Buton begitu mahal kini menjadi pelanggan
loyal Tenun Buton. Mereka yang tadinya butuh cepat kini rela menunggu 10 hari bahkan
satu bulan hanya untuk mendapatkan satu lembar kain Tenun Buton.
Pertengahan 2013, saya
mulai meluncurkan beberapa produk yang diolah dari bahan dasar Tenun Buton
seperti sandal, sepatu, lampu hias, hingga aksesories. Sebagai pembeda saya
memberi brand JSifadi. Brand yang saya ambil dari perpanjangan nama saya
sendiri Julhan dan Sifadi. Mengapa brand ini saya nilai perlu? Agar mereka yang
membeli produk ini mengetahui asal usulnya.
Mengapa mesti JSifadi?
Mengapa tidak diberi nama-nama lebih trend?. Memang ini terlihat kolot karena
mengambil nama saya sendiri. Tetapi tidak sedikit juga brand-brand besar yang
telah sukses dengan membawa namanya sendiri. Sebut saja brand kosmetik Martha
Tilaar yang memang nama pemiliknya Ibu Martha Tilaar. Charles and Keith, nama dua
bersaudara yang memulai karier berjualan sepatu di toko kecil di Singapura.
Alasan saya sebenarnya
cukup sederhana yaitu tidak ingin dituntut banyak pihak karena persoalan brand
dan tidak perlu takut diduplikat. Toh jika ada pihak yang menggunakan brand
saya maka otomatis saya yang akan memetik hikmahnya yakni saya akan dikenal.
Negatifnya adalah tidak menutup kemungkinan suatu saat produk saya akan
diduplikat dengan kualitas yang rendah. Cara satu-satunya yang bisa dilakukan
untuk mengantisipasi itu melalui penciptaan satu pintu tempat keluar masuknya
barang atau produk JSifadi. Termasuk mempererat interaksi dengan pelanggan sehingga mereka bisa memastikan diri bahwa telah memperoleh atau membeli produk JSifadi dari orang yang tepat.
Harapan saya mereka
mengenal JSifadi adalah produk dari Tenun Buton dan Tenun Buton itu dijual oleh
Julhan Sifadi. Andaikan saya gambarkan dalam magnet Tenun Buton dan Julhan
Sifadi ini adalah dua kutub yang berbeda sehingga apabila didekatkan maka akan
saling tarik menarik.
Untuk membawa brand itu
menjadi sukses memang tidak mudah, butuh kerja keras. Saya mengatakan bahwa
tidak satupun brand besar di dunia ini yang lahir dan langsung sukses. Semua
melalui perjalanan dan perjuangan.
Menurut saya kekuatan
brand akan menjadi kunci suksesnya sebuah bisnis. Karena brand adalah sebuah
identitas yang menjadi pembeda antar satu produk dengan produk yang lain.
Bagaimana mungkin kita bisa menjual atau memperkenalkan produk kita tanpa brand
atau identitas? Mungkin bisa saja kita memperkenalkan produk kita tanpa brand
tetapi tidak akan mampu menggiring loyalitas konsumen ke produk kita.
Menjual kain tenun
misalnya, bisa saja kita menjual kain tenun tetapi kain tenun itu sangat banyak
dari Sabang sampai Merauke. Olehnya itu dibutuhkan sebuah identitas dalam
setiap produk.
Lalu, cukupkah
identitas saja? Ternyata tidak. Kita perlu memperkenalkan identitas kita dan
membuat identitas kita itu memiliki cirri khas tersendiri. Ciri khas ini saya
biasa menyebutkan dengan keunikan. Apa yang unik dari brand yang kita tawarkan?
Keunikan itu sangat
diperlukan dalam sebuah bisnis. Keunikan itu akan menjadi daya tarik seperti gadis
cantik yang bohai ditengah ribuan gadis-gadis yang tengan dipilih para pria.
Membuat sebuah produk yang unik sebenarnya menjadi tantangan tersendiri namun
bagi saya sebagai pedagang Tenun Buton adalah meletakkan keunikan produk itu
pada proses pembuatannya yang tradisional dan filosofi-folisofi setiap motif
kainnya.
Mengapa mesti unik?
Karena semua orang bisa saja membeli Tenun Buton secara langsung ke Sulawesi
Tenggara atau bahkan ke Pulau Butonnya,
tetapi sangat sedikit orang yang paham akan filosofi kainnya termasuk proses
pembuatannya yang mempertahankan sistem penenunan secara tradisional.
Bagi kalangan pembeli,
ada dua pilihan memang, Pertama, mau membeli Kain Tenun Buton? Atau mau
mengenal Tenun Buton? Kedua pilihan itu tergantung dari karakter pembeli. Dari
sekian lama saya menjual Kain Tenun, ada dua karakter Pembeli yang saya temukan
yaitu pembeli pasif dan aktif.
Pembeli pasif ini saya
defenisikan sebagai pembeli yang hanya membeli saja berdasarkan ketertarikannya
dari luar atau mengikuti persaanya dan tidak ingin banyak tau tentang produk
itu. Pada kategori ini, umumnya mereka menggunakan nalar berfikir dagang di
pasar dimana pembeli dan penjual terjadi proses tawar menawar.
Sementara pembeli aktif
adalah pembeli yang selain tertarik juga sangat kritis terhadap produk yang
kita jual. Ia akan lebih banyak bertanya tentang produk kita dan rela membayar
mahal untuk sebuah pengetahuan yang ia peroleh dari produk itu.
Pembeli aktif ini akan
menjadi orang-orang yang loyal terhadap produk kita ketika apa yang kita
jelaskan dapat mereka terima dan produk yang mereka dapatkan sesuai dengan yang
mereka harapkan dari cerita kita.
Sekarang, kita perlu
menarik pembeli yang mana?
Ramadhan tahun ini, saya
juga memperkenalkan beberapa produk yang baru saja saya luncurkan. Yakni Tenun
Muna dan Mete Bakar asal Pulau Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Tenun Muna masih menggunakan
brand JSifadi, dan pengembangan produknya akan menggunakan brand Virisi The Wuna. Sementara mete bakar
menggunakan brand Djambu Traditional food.
Seluruh produk
dikerjakan secara tradisional untuk mempertahankan identitas serta prinsip kami
yaitu Local go Global dan para
pengrajin lokal di daerah baik di Pulau Buton maupun di Pulau Muna Provinsi
Sulawesi Tenggara. Pada produk Mete Bakar kami tidak menggunakan bumbu-bumbu
tambahan baik garam, gula maupun bawang. Rasanya sangat natural, dan cocok
untuk para penikmat mete. Diolah secara tradisional dengan sistem pembakaran.
Semoga brand-brand itu
bisa diterima.
Salam, Etnik Nusantara
Julhan Sifadi