
Pakaian putih
abu-abu yang baru saja mendapatkan sentuhan kasih sayang dari setrika besi tahun
80an telah melambai untuk segera dikenakan. Sementara sendok-sendok berdendang
bersama wajan tua dari bilik dapur 2x2 meter.
"Metampo
deki ghane...notahamo ini (bahasa Suku Muna : sarapan dulu
nak, sudah masak ini)," kata Ibuku.
Rumah itu menjadi
salah satu saksi sejarah dalam perjalanan hidupku bersama adik dan Ibuku pada
tahun 2001. Sebuah rumah sederhana terbuat dari papan yang telah ditinggalkan
pemiliknya karena sudah memiliki bangunan baru persis didepan bangunan lamanya.
Pagi itu aku
mendapatkan sarapan yang sangat luar biasa nikmat, sagu kering yang digoreng
bersama parutan kelapa dan dibentuk seperti telor dadar lalu digulung dan
didalamnya ditaburi sedikit gula merah.
Tidak ada meja di
rumah itu, aku bersama adik bungsu duduk bertiga dilantai beralaskan semen.
Kami saling menatap, lalu masing-masing mengambil satu gulungan sagu yang
memang telah disiapkan 3 biji.
Sebagai seorang
Kakak, aku dipersilahkan mengambil terlebih dahulu oleh Ibu. Dan aku memilih
yang berukuran paling kecil. Tiba-tiba Ibu tersenyum "Koise-koise koala aitu, aitu soindodi, meala mobhalano itu
(Jangan-jangan kamu jangan mengambil yang kecil, ambillah yang besar itu yang
kecil itu untuk saya," kata Ibu.
Tetapi aku tetap
bersikukuh untuk mengambil yang ukuran kecil itu, dan raut muka Ibupun berubah.
Dan akhirnya saya bertanya "Noafa
gara okarubhu ini? (Kenapa dengan yang kecil ini?) tanyaku,”.
Dengan senyum khas
yang terbalut kerutan-kerutan semangat “Aitu
dawuku, rampahano indodi welolambu kaawu ini ane aogharo taaegaumo (yang
kecil itu bagian saya karena saya tidak akan kemana-mana dan jika lapar saya
bisa memasak),”.
Aku berusaha
menyembunyikan kesedihanku setelah mendengar jawaban itu, karena aku tahu
didapur kami hari itu tidak ada yang bisa dimasak. Tampan beras kosong
melompong, yang ada hanyalah air putih. Aku melihat adikku begitu bersemangat
menyantap sarapan kami pagi itu, sementara aku berusaha menahan air mataku agar
tidak menetes didepan ibu.
Sepotong sagu yang
diberi gula merah itu memang cukup untuk mengganjal perutku dan beraktifitas
selama 7 jam disekolah serta menempuh
perjalanan sejauh 6 kilometer lebih menuju sekolahan dengan berjalan kaki.
Pukul 15.00 aku
kembali kerumah yang penuh cerita itu, mulai dinding papan yang termakan rayap
hingga atap rumbianya (atap terbuat dari dedaunan) yang memberi ruang bagi hujan
untuk membahasi pelipisku saat terlelap.
Kakiku melangkah
perlahan menuju rumah, dan dari depan pintu aku mencium aroma masakan yang
begitu lezat. Dengan semangat aku membuka pintu rumah “Assalamu alaikum,”
teriakku dari balik pintu, beberapa kali aku mengucap salam tetapi tidak ada
jawaban.
Akupun langsung
membuka pintu, dan rupanya Ibuku tengah tertidur lelap diatas ranjang beralas
papan. Rupanya aroma masakan tadi berasal dari dapur tetangga yang hanya
berjarak 1 meter dari rumah kami.
Perutku terasa
sangat lapar, tetapi aku yakin tidak ada masakan hari itu sehingga tidak
memberanikan diri untuk membuka periuk.
Tas dan sepatuku
sengaja kutaruh perlahan agar tidak mengganggu tidur Ibuku. Dan akupun duduk
merenung dilantai.
“Ya
Tuhan….muliakanlah Ibuku, karuniahilah ia umur yang panjang agar bisa
menyaksikan kesuksesanku kelak dan berikanlah aku kekuatan iman sehingga mampu
bertahan dalam kekurangan ini,”.
Ibuku yang tertidur
tiba-tiba bangun, mungkin ia kaget dengan kehadiranku yang ia tidak ketahui
“Aitu ghane oratomo gara, fuma deki pada, nando omafusau itu (Nak, kamu sudah
datang rupanya, silahkan makan dulu disitu ada singkong),” kata Ibu sambil
menunjuk loyang kecil dihadapannya.
Akupun bergegas dan
membuka loyang itu “Padamo afuma idi
aniini we sikola degholikanau sabhangkahiku. Fumaamo ihintu omafusau itu,
(aku tadi sudah makan disekolahan, teman-temanku mentraktir aku. Ibu makan saja
singkong yang ada itu),” kataku.
Sore itu memang aku
berbohong bahwa aku sudah makan karena aku melihat dimeja hanya tersedia 3
potong singkong. Dan aku sangat yakin Ibu belum makan karena saat tidur tadi
terlihat lilitan tali diperutnya. Ibuku memang tidak pernah mengeluh, tidak
pernah sekalipun memperlihatkan penderitaan dari raut wajahnya.
Aku menyaksikan ibu
begitu lahap memakan singkong-singkong tadi, dan aku duduk didepannya sambil
mengajaknya bercerita, sesekali ia mencoba menasehatiku.
“Fekata-ta
sikola itu e, ane omembalimo omie komulimpu hataala bhe anabi, komolimpu
kamokulahimu, komolimpu kakuta-kakutahimu (Sekolahlah
yang baik, kalau sudah sukses jangan lupa Allah Swt, jangan lupa Nabi Muhammad
Saw, dan jangan lupa kedua orang tuamu, serta saudara-saudaramu,” pesan ibu.
***Bersambung
T_T
saya tau kalian selalu lebih kuat dari yg saya tau
aamiin aamiin aamiin
....
dont know what to say....
Teamusu : Dgn senyum itu cukup :)
Saya masih sempat merasakan masakan Beliau, mulai dari sayur daun Ubi yg dimasak santan, hingga kue yg dibuat menggunkan Terigu tanpa campuran apapun, Tpi sangat Enak...
Rindu rasanya, Dan membaca artikel ini membuat pikiran bernostalgia kembali..Alfatiha buat Nenek 🙏