“Assalamu alaikum” sapaku kepada rekan-rekan
yang masih duduk diruang receptionis kantor. Pagi hari ini sangat indah
walaupun bajuku masih nampak kusut karena tak sempat disetrika. Dengan senyum khas,
kawan-kawanku memperhatikan tentenganku sebuah wadah plastik segi empat. Itu
memang aku tenteng tanpa pembungkus untuk sarapan di kantor.
Yah, isinya adalah beberapa pontong singkong
rebus yang menjadi sarapan andalanku setiap pagi di kantor. Untuk ukuran Kota Jakarta,
mungkin sarapan khas itu sangat mustahil. Mengingat, geliat penjual makanan
mulai dari warteg, warung-warung emperan, hingga pedagang gorengan, cukup
tinggi.
Sajiannya pun beragam seperti, nasi uduk,
lontong sayur, nasi pecel, dan masih banyak lagi kreasi makanan khas Betawi dan
Jawa. Tapi sudahlah, singkong dengan harga Rp.4.000 yang aku beli di samping
rumah bisa kumakan untuk tiga hari dan lebih nikmat.
Seperti hari-hari biasa, sebelum
beraktifitas, berita di koran nasional menjadi santapanku untuk melihat
perkembangan Nusantara. Singkongku mulai kulahap satu demi satu, kopi hangat rasanya berpadu sempurna dalam tenggorokan. "Alhamdulillah..," ucapku menikmati sarapan.
Berita-berita koran hari ini memang beda seperti hari-hari biasa yang fokus membahas kasus korupsi mantan Ketua MK, dan pejabat-pejabat negara lain seperti kasus hambalang. Koran harian ibu kota hari kini mengupas “Demo Ribuan Buruh”. Nampak dari poster yang dipegang pendemo pada foto berita meminta kenaikan UMP sebesar 50%. Berarti dari Rp.2,2 Juta, minta dinaikkan Rp.3,7 Juta, namun ada indikasi kenaikan yang telah disepakati oleh Pemerintah Provinsi Jakarta dan Para Pengusaha sebesar Rp.200 ribu.
Berita-berita koran hari ini memang beda seperti hari-hari biasa yang fokus membahas kasus korupsi mantan Ketua MK, dan pejabat-pejabat negara lain seperti kasus hambalang. Koran harian ibu kota hari kini mengupas “Demo Ribuan Buruh”. Nampak dari poster yang dipegang pendemo pada foto berita meminta kenaikan UMP sebesar 50%. Berarti dari Rp.2,2 Juta, minta dinaikkan Rp.3,7 Juta, namun ada indikasi kenaikan yang telah disepakati oleh Pemerintah Provinsi Jakarta dan Para Pengusaha sebesar Rp.200 ribu.
Sebagai orang baru di Kota Jakarta, aku
sempat bingung dengan tuntutan itu, karena menurutku, di Kota Jakarta dengan
uang Rp.1 Juta aku bisa hidup selama sebulan dengan status tinggal dirumah
kontrak. Ahh….sudahlah mungkin pola hidup yang berbeda-beda. Atau aku yang
terlalu kasihan dengan 4 perusahaan asal Korea Selatan yang tutup karena tidak
mampu membayar UMP, dan dua lainnya pindah ke Negara Vietnam. Ditambah lagi 60
perusahaan tekstil merelokasi pabrik dari Jabodetabek ke Jawa Tengah.
“Baguslah kalau mereka pindah, berarti angka
urbanisasi akan menurun,” celetus salah seorang teman sambil tertawa.
Dengan berbagai kemelut itu, tentu semua
pekerja tidak akan siap menerima nasib Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), karena
perusahaan tempatnya bekerja tutup lantaran harus membayar gaji tinggi yang
tidak diimbangi dengan pendapatan.
“Memang manusia itu tidak akan berkecukupan
jika tidak bersyukur, hehehehe…” kawan dari Lamongan juga bersuara, mendengar
keluh kesahku selayaknya seorang presiden pagi itu yang tengah memikirkan nasib
negara ini.
Aku kembali merindukan lagu Grup Band, Armada
“Mau Dibawa Kemana….#Negara” kita..?”.
Nafas yang terengah, kutarik perlahan dan
mengalihkan pandanganku ke tumpukan kertas di atas meja. Oh iyah, rupanya aku hanyalah
seorang penulis yang tak perlu mengkudeta tugas seorang presiden di negara ini.
Biarlah semua itu menjadi pemicu semangat untuk aku bekerja hari ini bahwa
tiada orang yang berkecukupan selain mereka yang mensyukuri nikmatNya.
Untuk 1 November 2013
Julhan Sifadi
tulisan x bagus pisa
terimakasih atas kunjungannya pis