
Tetapi hari itu diluar perkiraan,
ternyata pekerjaanku tuntas di waktu yang tidak disangka-sangka hingga pukul
23.00. Akupun hanya bisa melihatnya tertidur
pulas ditempat tidur saat sampai ke rumah.
Rasa bahagia melihat anakku tersenyum dengan sambutan teriakan kecilnya Ayah…ayah…ayah tak lagi kudengar malam itu. Sedih rasanya, tetapi aku duduk diposisi yang tidak bisa ditawar karena berbicara soal nafkah dalam keluarga.
Rasa bahagia melihat anakku tersenyum dengan sambutan teriakan kecilnya Ayah…ayah…ayah tak lagi kudengar malam itu. Sedih rasanya, tetapi aku duduk diposisi yang tidak bisa ditawar karena berbicara soal nafkah dalam keluarga.
“Maafkan Ayah yah nak, ayah tidak
bisa pulang tepat waktu untuk menemanimu jajan,” aku dalam hati sambil menatab
wajahnya yang para tetangga memanggilnya Julhan Sifadi kecil.
Keesokan harinya aku tidak bisa
menemaninya jalan untuk sekedar ke warung, karena aku harus berangkat lebih pagi.
Sekali lagi pagi itu aku merasa bersalah karena malaikat kecilku itu masih
nyenyak dengan guling hello kittynya.
“Maafkan Ayah yah nak, ayah
berangkat kerja lebih pagi, mainnya nanti sama Bundanya aja yah, doain Ayah agar
aktifitas hari ini selalu diberkahi,” sambil aku mencium kepalanya yang sedikit terbalut
rambut tebal.
Aku memang tidak bisa menghindari
pekerjaan-pekerjaan kantor yang telah teragenda jauh hari sebelumnya. Apalagi jika
berhubungan langsung dengan klien kantor yang mau tidak mau harus dilayani
secara maksimal.
Beberapa hari kemudian, aku
meluangkan waktuku sehari full untuk menemaninya bermain lalu mengajaknya
mengelilingi perumahan. Rasa bahagiannya terpancar jelas dari ocehannya tanpa titik dan koma. Tetapi aku yakin dalam ocehannya itu menjinjing harapan besar akan masa-masa itu agar tidak
terkikis sepanjang waktu.
Tiga puluh menit sudah aku
mengajaknya jalan di sekitar perumahan dan tibalah ia di sebuah minimarket. Setelah
masuk, ia bertepuk tangan dan berteriak “Ayah….ayah…ayah….mau mau mau” sambil
menunjuk 1 bungkus kripik singkong rasa ayam barbeque. Akupun meraih makanan
itu dan membawanya di kasir.
“Maaf pak, uangnya kurang Rp. 1.000,”
kata Kasir itu. Akupun merogoh kocekku lagi, rupanya disakuku hanya Rp.10.000
dan harga kripik itu Rp.11.000.
Aku menatap wajah anakku dengan
senyum bahagianya menggenggam erat makanan itu, rasanya tidak tega jika
mengambil dari tangannya.
“Maaf yah nak, ini terlalu besar,
kita ganti yang kecil yah yang rasanya lebih enakkk…” sambil aku berlalu dari
kasir dan mencari harga yang sesuai uangku. Dan alhamdulillah aku menemukan
makanan serupa dengan bungkusan kecil seharga Rp.7.600. Sebelum sampai kekasir,
anakku kembali berteriak “Ayah…ayah…ayah….cucu…(maksud dia minta dibelikan susu
kemasan),” akupun melihat harganya, dan cukup untuk saya beli.
Anakku sangat bahagia, sepanjang
jalan kerumah ia bersorak sambil bernyanyi Bintang..bintang (bintang kecil
dilangit yang biru). Walaupun hanya beberapa kata itu yang diulang-ulang tetapi
cukup menghiburku.
Sambil sesekali aku membenarkan
nyanyiannya, aku sedikit tersentuh dan mengingat masa kecilku dulu tidak pernah
mengenal jajan. Bahkan untuk sepotong pisang goreng saja rasanya sulit untuk
dibeli. Orang tuaku memang sejak kecil tidak membiasakan aku untuk jajan apalagi
untuk memegang duit sendiri walaupun hanya Rp.50 perak tahun 1990.
Sampai suatu ketika tahun 1992,
aku diminta tinggal bersama nenek di kampung Kabupaten Muna, Desa Lailangga.
Bahkan hingga aku SMP kelas 1 aku bersama kedua nenek yang sangat menyayangiku
itu.
Saat sore hari sepulang aku dari
mengambil kayu di hutan, aku beristirahat dianak tangga rumah, maklum rumah
Nenekku itu panggung khas Suku Muna. Tiba-tiba nenek menghampiriku “Djulu…Djulu…omeafa
itu? (Bahasa daerah Muna artinya : Jul…jull kamu sedang apa?)?” tanya Nenek
sambil menghampiriku.
“Aengkongkora ingka, pehadae itu?
(Saya sedang duduk, ada apa nek?,” tanyaku sambil menoleh kebelakang.
Dengan tangannya yang keriput dan
goresan wajahnya yang dipenuhi kasih sayang, ia menyodorkan aku sepotong
biskuit nanas. Lalu membisikku “Ghane…meala kaita deki oowe lae! (Nak…ambil air
dulu yah!,” kata Nenekku.
Melihat biskuit itu, aku lahap
dengan semangat lalu bergegas mengambil ari ke sumur yang jaraknya kurang lebih
3 km dari rumah. Rasanya sepotong biskuit itu begitu nikmat dan membuat lelahku
spontan hilang. Biskuit nanas itu memang kesukaan Nenekku dan Ia tidak pernah kekosongan
stok karena selalu dikirim dari anak-anaknya dari kota.
“Ayah….ayah….buka..!!!!” teriak
anakku menyodorkan kripiknya untuk dibuka. Ahhh…….ternyata aku telah sampai
kerumah.
:)
speechless
hehehehe tq ipe