
Sekitar 71 juta pengguna internet
di seluruh Indonesia akan gigit jari. Hal ini juga akan memberikan dampak
negatif yang luar biasa besar bagi industri bisnis online yang sangat
bergantung pada internet.
Jika benar terjadi, maka
rata-rata transaksi keuangan yang nilainya mencapai Rp.1,5 miliar per menit
atau Rp.90 miliar perjamnya akan macet. Pebisnis online juga bisa terancam
gulung tikar akibat terputuskan koneksi dengan para customernya.
Parahnya lagi wacana itu muncul
ketika pemerintah tengah mendorong kemajuan infrastruktur internet di Indonesia.
Target pemerintah tahun 2015 dimana 50 persen bangsa Indonesia bisa mengakses
internet akan mengalami jalan buntu alias mustahil.
MNC, Telkom Akses, dan semua
pelaku usaha yang bergerak dibidang itu harus gigit jari. Target mereka yang
akan memperluas jangkauan internet ke seluruh wilayah Indonesia otomatis berakhir.
Wacana itu sebenarnya berawal
dari dua kata yaitu “IZIN FREKUENSI”. Para penyelenggara layanan internet atau ISP
menghendaki agar pemerintah bisa kembali ke UU Telekomunikasi yang melindungi
serta membenarkan para ISP untuk bisa menyewa bandwidth ke operator tanpa perlu izin frekuensi.
Berawal dari vonis bersalah Direktur
Utama Indosat mega Media (IM2), Indar Atmanto, oleh Pengadilan Tinggi karena
IM2 dianggap menyalahi aturan, yaitu menggelar layanan 3G tanpa memiliki izin
layanannya. Layanan 3G yang digelar IM2 sendiri selama ini menyewa frekuensi
operator Indosat yang telah mengantongi izin operasi jaringan 3G.
Padahal, model bisnis tersebut
menurut Kementerian Kominfo dan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI)
dianggap tidak menyalahi aturan.
Secara idealis saya melihat bahwa
wacana tersebut hanyalah gertak sambal belaka ditengah petisi yang diajukan
oleh para ISP ke Mahkamah Agung. Mengapa? Karena yang akan mengalami kerugian
besar bukan saja para pengguna internet, tetapi para ISPpun akan gulung tikar.
Investasi yang mereka tanamkan di Indonesia bukan nominal yang kecil seperti
menjual selembar kain tenun dengan harga Rp.300 ribu.
Tidak perlu khawatir dengan
wacana-wacana tersebut, karena hal yang mustahil untuk dilakukan atau
diputuskan oleh pebisnis berkelas besar.
Jika 200an penggiat ISP di
Indonesia akan hengkang, dipersilahkan dengan hormat dan kita tidak perlu
khawatir karena para pemain baru dari luar negeri akan banyak antri untuk masuk
ke Indonesia dengan senang hati.
Bukan sesuatu yang mustahil bagi
para pemain baru ini karena market Indonesia begitu menggiurkan. 250juta jiwa
penduduk Indonesia dengan persentase pengguna internet yang terus mengalami
peningkatan serta regulasi pemerintah yang mendorong masyarakatnya untuk menggunakan
internet akan menjadi magnet besar bagi para pelaku – pelaku ISP yang
baru.
So? “Don’t Worry“Kata Tony Q Rastafara.