Hari yang mendung sedikit mengobati kepekatan
awan hari ini. Semangat baru untuk pandanganku sepajang jalan. Kuyup yang melumuri
pakaian begitu sejuk mengobati sengatan mentari dihari-hari sebelumnya.
Waktu yang
terus berpacu, menejang bag belati hingga kaki-kaki yang begitu berat melangkah
melayang tanpa isyarat. Senyum bahagia tampil malu-malu menyembunyikan kusut
dari dia yang berselimut kabut.
Mungkin itu terlalu dalam untuk mevonis diri
bahwa aku tidak mensyukuri pilihan dan keputusanNya, sementara tengadahan
tanganku membeku dibawah rintik lain disunyinya malam. Atau mungkin kesabaran
yang pergi karena tidak betah lagi menemani dan telah bosan untuk bergumul
dengan sepi.
Merunduk sejenak memberi kesempatan lisanku bertasbih
dengan fasih mengiringi hati yang masih setia merangkul kalimat-kalimatNya. Suasana
menggiringku untuk yakin akan cintaNya yang abadi. Sementara rindu yang tercurah
hanya kuberi kesempatan untuk bercerita pada angin agar segera membawanya
pergi.
Hening itu melambai untukku dan meninggalkan pesan
dramatis agar aku segera sambut dari kiblat dengan dua telunjukku. Aku balas
dengan seribu senyum walaupun itu belum cukup menggetarkan Arsyi dan bumi.
Tangan-tangan halus meraba detak jantungku yang terlalu melebihkan harapan di
bumi ini sementara angin malam terus merinduiku.
Ingin merintih sepanjang malam namun matahari
bersama ayam-ayam pekokok tak bisa berdamai lagi. Selayaknya hujan yang tak
lagi memandang angin sebagai penghalang ia
turun memberi kesan damai diantara petir-petir mematikan. Tersenyum untukmu,
dan menengadahkan tangan untukNya mungkin akan terlihat adil. Bijaksana yang
tak menuntut bayaran dan ucapan-ucapan terimakasih dari siapapun.
Aku melihat ada banyak tangan-tangan haus
untuk mencumbumu dengan arogan dan ada ribuan mata-mata hitam meraung meminta
tanggung jawab. Aku melihat dengan
ikhlas dan melapangkan jalan-jalannya. Yang tegak itu mungkin mereka yang damai
tanpa bercak lain dalam tuntutannya. Sayangnya aku tak memenuhi lingkaran
mereka.
Julhan Sifadi