Benteng Keraton Buton merupakan peninggalan Kesultanan Wolio atau Kesultanan Buton. Benteng Keraton ini masuk Guiness of Record tahun
2006 dan rekor MURI sebagai benteng terluas di dunia. Panjang keliling benteng
tersebut 3 kilometer dengan tinggi rata-rata 4 meter dan lebar (tebal) 2 meter.
Bangunannya terdiri atas susunan batu gunung
bercampur kapur dengan bahan perekat dari agar-agar, sejenis rumput laut. Luas
seluruh kompleks keraton yang dikitari benteng meliputi 401.911 meter persegi.
Area yang demikian luas itu mengalahkan benteng terluas di dunia sebelumnya
yang berada di Denmark.
Dengan demikian, Benteng Keraton tercatat sebagai
yang terluas di dunia. Luasnya benteng ini bukan sekadar isapan jempol, di
dalam kompleks benteng melingkupi satu wilayah kelurahan, dengan nama kelurahan
Melai, dan tercatat sebagai salah satu kawasan terpadat di kota ini.
Banyak objek menarik di dalam benteng Keraton
Wolio itu. Di sana ada batu Wolio, batu popaua, masjid agung, makam Sultan
Murhum (Sultan Buton pertama), Istana Badia, dan meriam-meriam kuno. Batu Wolio
adalah sebuah batu biasa berwarna gelap. Besarnya kurang lebih sama dengan
seekor lembu sedang duduk berkubang. Konon, di sekitar batu inilah rakyat
setempat menemukan seorang putri jelita bernama Wakaa-Kaa yang dikatakan
berasal dari Tiongkok.
Ada satu hal menarik yang patut diketahui
mengenai keberadaan benteng Keraton Buton, yakni sebuah benteng yang tidak
hanya berdiri dan diam membisu, tetapi di dalam kawasan benteng keraton
terdapat aktivitas masyarakat yang tetap melakukan berbagai macam ritual
layaknya yang terjadi pada masa kesultanan berabad-abad lalu.
Di dalam kawasan benteng terdapat permukiman
penduduk yang merupakan pewaris keturunan dari para keluarga bangsawan Keraton
Buton masa lalu. Di tempat ini juga terdapat situs peninggalan sejarah masa
lalu yang masih tetap terpelihara dengan baik. Di tengah benteng terdapat
sebuah masjid tua dan tiang bendera yang usianya seumur masjid. Yang dibangun
pada masa pemerintahan Sultan Buton III La Sangaji Sultan Kaimuddin atau
dikenal dengan julukan ‘Sangia Makengkuna’ yang memegang takhta antara tahun
1591-1597.
Benteng ini memiliki panjang 2.740 meter yang
mengelilingi perkampungan adat asli Buton dengan rumah-rumah tua yang tetap
terpelihara hingga saat ini. Masyarakat yang bermukim di kawasan benteng ini
juga masih menerapkan budaya asli yang dikemas dalam beragam tampilan seni
budaya yang kerap ditampilkan pada upacara upacara adat.
Tetapi, ada sedikit bau mistik di dalam masjid
tua itu. Di belakang mimbar khatib atau di ujung kepala imam tatkala dalam
keadaan sujud terdapat pintu gua yang disebut ”pusena tanah” (pusat bumi) oleh
orang-orang tua di Buton. Konon dari dalam gua itu keluar suara azan pada suatu
hari Jumat. Peristiwa itu menjadi latar belakang pendirian masjid di tempat
tersebut.
Ketika masjid itu direhabilitasi pada tahun
1930-an, pintu gua tadi ditutup dengan semen sehingga ukurannya lebih kecil
menjadi sebesar bola kaki. Lubangnya diberi penutup dari papan yang bisa dibuka
oleh siapa yang ingin melihat pintu gua itu.
Di salah sebuah kamar Kamali (istana) Badia,
masih di kompleks keraton, terdapat meriam bermoncong naga. Meriam bersimbol
naga tersebut dibawa leluhurnya Wakaa-kaa dari Tiongkok sekitar 700 tahun
silam.
Meriam itu masih memiliki peluru dan masih bisa
diledakkan. Kamali Badia itu sendiri tidak lebih dari rumah konstruksi kayu
khas Buton sebagaimana rumah anjungan Sultra di Taman Mini Indonesia Indah
Jakarta. Sesuai tradisi, rumah atau istana Kesultanan Buton harus dibuat
keluarga sultan dengan biaya sendiri.
Khusus Benteng Keraton Buton yang aslinya disebut
Keraton Wolio dibangun pada masa pemerintahan Sultan Buton VI (1632-1645),
bernama Gafurul Wadudu. Benteng ini berbentuk huruf dhal dalam alpabet Arab
yang diambil dari huruf terakhir nama Nabi Muhammad SAW.
Benteng Keraton Wolio memiliki 12 pintu gerbang
dan 16 pos jaga (bastion). Tiap pintu gerbang (lawa) dan bastion dikawal empat
sampai enam meriam. Pada pojok kanan sebelah selatan terdapat godana-oba
(gudang mesiu) dan gudang peluru di sebelah kiri.
Konon pada masa pembuatan benteng keraton ini
bahan baku utama yang digunakan adalah batu-batu gunung yang disusun rapi
dengan kapur dan rumput laut (agar-agar) serta putih telur sebagai bahan
perekat.