(Kisah Nyata)
Seperti anak-anak kecil lainnya,
sebelum sekolah saya dibiarkan bebas bermain di pekarangan rumah, bersama teman
dan saudara saudara saya bernama Gusran Sifadi atau dipanggil Agus. Masa-masa itu
sungguh indah. Senyum dan tawa bisa saja menggelegar dalam ruangan ketika saya
membayangkannya kembali.
Yah…itulah masa
kecil….
Saya dilahirkan di Kelurahan
Anggoeya Kecamatan Poasia Kota Kendari, tanggal 25 Juli 1984 silam, yang saat
itu daerahnya masih terpencil bahkan boleh dibilang hutan rimba, karena sahut-sahutan
burung dan hewan liar masih ramai
menghiasi petang hingga fajar. Untuk mencapai
jalan utama yang ada kendaraan, masih perlu berjalan kaki kurang lebih 5
kilometer melewati beberapa bukit, hutan, komplek pekuburan, dan sungai-sungai.
Tetanggapun masih bisa dihitung dengan jari, mungkin karena
sebagian tetangga saya saat itu semua punya rumah di kota. Sehingga jika petang
tiba, mereka lebih memilih pulang masing-masing. Setiap malam saya tinggal
bersama kakak saya Agus, dan Ibu saya Wa Musaafi. Kami bertiga, karena ayah La
Hasa saya waktu itu sementara TKS (KKP) untuk sebutan mahasiswa sekarang.
Masa kecil memang saya jarang
bertemu ayah, sehingga untuk menyambung hidup sehari-hari Ibu sayalah yang
berkebun. Menanam berbagai kebutuhan hidup, mulai dari jagung, singkong, hingga
sayur-sayuran. Sayapun tidak pernah menuntut untuk makan ikan apalagi minum teh.
Mengingat jarak untuk pergi ke pasar cukup jauh kurang lebih 20an kilometer
karena pasar satu-satunya saat itu hanya ada di Kelurahan Lapulu.
Sebagai Ibu yang memiliki naluri
tajam terhadap anak-anaknya, Ibu saya sering beberapa kali berjalan kaki sejauh
itu, hanya untuk membeli ikan dan jajanan kami berdua dengan kakak. Namun
sebelumnya, Ia harus membawa dagangan berupa sayur-sayuran untuk dijual
terlebih dahulu. Bisa dibayangkan jika pergi membawa sayuran dengan berjalan
kaki 20an kilometer, dan pulang membawa barang belanjaan.
Mungkin oleh Ibu saya hal itu
merupakan kewajiban untuk anak-anaknnya, walaupun kami sesungguhnya tak pernah
meminta. Kebahagiaan saya waktu itu ketika Ibu pulang dari pasar membawa doko-doko
(kukusan tepung terigu yang didalamnya berisi pisang dan terbungkus daun pisang).
Setiap pagi, Ibu selalu pergi ke
kebun sayur yang jaraknya kurang lebih satu kilo meter dari rumah. Pagi itu
sekitar jam 7.00, saya pun mengingatkan Ibu untuk tak lupa membawa pulang buah pepaya
jika sudah ada yang matang.
Saya bersama kakak, bermain petak umpet sambil
menunggu jam 10, dimana saat Ibu pulang untuk memawa pesanan saya. Beberapa
menit berlalu, sayapun dapat giliran untuk bersembunyi dibalik semak-semak
pekarangan rumah dengan hitungan ketiga kakak saya.
Tak jauh dari semak-semak tempat
persembunyian saya, lewatlah seorang kakek berambut panjang, menggunakan sarung
ala Ramayana, dengan memanggil saya cucu. “Iyah, ada apa?” jawabku tanpa rasa
curiga atau takut.
“Ayoo… kita kerumah,” ajak sang
Kakek. Sayapun langsung nurut ajakannya, maka digendonglah saya kesebuah rumah
yang tidak memiliki kamar atau papan pembatas. Didalamnya orang-orang
berpakaian sama seperti sang Kakek, yang membedakan hanya aktifitasnya. Seluruh
orang rumah hanya menumbuk padi tanpa menhiraukan kedatangan saya.
“Tunggu disini yah saya ambilkan
makan dulu,” kata si Kakek sambil membawa periuk kosong menuju bagian belakang
rumah. Tak ada kursi sofa, korsi plastik atau tempat duduk layak seperti
rumah-rumah biasa. Hanya ada batangan kayu yang disusun memanjang tempat saya
duduk.
Kondisi itu memancing rasa ingin
tau saya, apalagi makanan yang dijanjikan belum datang dari
sang kakek. Beranjaklah saya dari tempat duduk tadi menuju pintu depan untuk
melihat situasi pekarangannya.
Sungguh mengagetkan, ketika saya
keluar pintu dan menuruni tangga, rumah yang besar tadi tidak nampak lagi, yang
nampak hanyalah pohon beringin besar yang dahan-dahannya sudah ditebang.
Lantas di alam manakah saya berada
tadi? Dan siapa kakek itu? Saya akan lanjutkan hari berikutnya. (Bersambung).