Kupacu
kendaraanku kecepatan sedang memutari Desa Karangwungu, Tlincing dan kembali ke
Pedan, sambil membaca satu persatu petunjuk arah setiap persimpangan, rupanya
tak satupun yang menunjukkan Puskesmas IPHI Pedan tujuanku.
Sejam
kemudian, kucoba beranikan diri bertanya dengan bahasa jawa halus ke salah satu
penjual Nasi Goreng Kwali, di emperan samping lapangan Pedan. Maklum, di
Kabupaten Klaten, seluruh masyarakatnya menggunakan bahasa Jawa halus.
“Pak,
Puskesmas IPHI Pedan ten pundi?,” tanyaku sambil berusaha sedikit medok Jawa
yang nyaris saja membuat lidah Rahaku keseleo.
Waduh,
seluruh penjelasannya tidak satupun yang kumengerti, menyesal dan rasa
bersalah, ditambah lagi malu saat tadi kumulai memaksakan diri untuk berbahasa
Jawa.
Selang
beberapa detik ia menjelaskan, akupun mulai bertanya ulang dengan bahasa
Indonesia. Bapak berperawakan tegap sedikit berjenggot itupun tiba-tiba tertawa
terbahak-bahak karena mengetahui aku bukanlah orang Jawa. Akupun ikut tertawa
melupakan sedikit lelah setelah berputar selama satu jam dilokasi yang baru
saja kukenal itu.
Hujan mulai
mengguyur Pedan sedikit demi sedikit, akupun kembali memacu kendaraanku menuju
Puskesmas yang sudah dijelaskan bapak tadi.
Rupanya
jaraknya hanya ditempuh kurang lebih 10 menit, dari Lapangan Kecamatan Pedan,
masuk melalui jalan-jalan kecil yang sudah beraspal dengan mulus.
Dari luar,
puskesmas itu nampak seperti rumah susun dua lantai, lapangan yang hijau dan
luas, parkirannya yang rapi serta teduh membuatku mulai penasaran.
Dipintu
masuk sudah terpampang papan informasi berisikan nama-nama pasien dan ruangan
tempat ia dirawat. Kubaca satu persatu, dan alhamdulilah kutemukan nama pasien
yang kucari itu rupanya ia dirawat di lantai dua gedung.
Tidak lama
kemudian di lorong utama puskesmas, seorang gadis berjilbab menggunakan seragam
hijau tersenyum. Akupun menoleh kebelakang memastikan, rupanya orang yang
melintasinya hanyalah aku. Mulai bangga, karena seorang gadis tadi senyum
padaku.
Semakin
pede dan merasa ganteng malam itu, perlahan mulai kunaiki satu persatu anak
tangga menuju lantai dua, di pojokan ruangan tangga lantai dua, nampaklah tiga
gadis cantik selayaknya recepsionis hotel berbintang menyapaku menggunakan
bahasa Jawa.
Karena
tidak ingin keceplosan lagi, akupun menghampirinya lalu bertanya menggunakan
bahasa Indonesia mencari ruangan tujuanku. Rasanya tidak ingin meninggalkan
resepsionis itu, keramahan pelayanan mereka membuatku betah untuk
berbincang-bincang.
Tak lama
kemudian, seorang nenek meneriakiku, “Waduh nak, cucuku, besok kamu mau menikah
kan?,”. Akupun tersentak kaget, sambil berbisik dalam hati, “Nenek ini
menggagalkan rayuanku terhadap gadis resepsionis itu,”.
Yah dialah,
nenekku yang sedang mengurut salah satu pasien Puskesmas IPHI Pedan dan hendak
kujemput pulang kerumah.
Kucoba
melihat salah satu ruang pasien tempat nenekku mengurut, ukurannya cukup luas
dengan interior seperti kamar hotel kelas Deluxe dengan harga Rp.125 ribu
permalamnya dimana diperuntukkan satu pasien satu ruangan.
Selain
ruangannya bersih, wangi, ber AC, kamar mandi, dan air bersih yang cukup,
membuatku teringat akan RS Bahteramas Kendari, yang konon akan jadi Rumah Sakit
Internasional.
Lorong-lorongnya
yang bersih, pelayannya yang ramah, membuatku tak yakin kalau itu hanyalah
sebuah puskesmas di Desa. Tapi sudahlah,
semoga RS Bahteramas kita bisa seperti puskesmas IPHI Pedan. Aminn.
(Diambil dari kisah nyata)
(Diambil dari kisah nyata)