Ting..ting..ting..ting…. bunyi kentungan si penjual
buah siang itu didepan rumah. Bunyi yang kerap kuanggap sebagai penjual es pisang
ijo saat tinggal di Kendari.
Di Jakarta, bunyi-bunyian serupa banyak berseliweran,
maka disinilah tempat menguji yang tepat untuk indera pendengaran kita. Apakah
itu bunyi penjual buah, es, bakso, penjual bubur, atau penjual kue malam. Terlepas
dari itu, bagiku itu adalah salah satu suasana yang susah untuk ditemukan
ditempat lain.
“Ramai”….tanpa perlu memecahkan gelas seperti sarannya
Cinta dalam AADC.
Hingga pukul 02.00 pun kita masih akan menjumpai
mereka, walaupun ketukan pada jam-jam itu sedikit lebih anarkis yaitu
memukuk-mukul wajan. Tetapi jangan hawatir, itu bukanlah seorang penyamun, atau
maling yang tengah membawa barang curian. Ia cuma penjual nasi goreng yang
tengah berharap kita kelaparan setelah nonton sepak bola atau pulang dari apel
di Taman Lawang.
Apakah di jam-jam itu sudah terhenti? Rupanya belum,
pada jam-jam diatasnya lagi kita akan menemukan para penjaja jagung dan kacang
rebus.
Nah, kentungan penjaja jagung rebus ini wajib
diwaspadai….karena ketukan suaranya mirip-mirip dengan kentungan hansip saat maling
kedapatan beraksi.
Di Jakarta, semua jenis barang ada yang menjajakan via
gerobak atau keliling dari rumah kerumah, dari kampung ke kampung, dari
kompleks ke kompleks. Mereka begitu aktif mencari rejeki dari warga Jakarta.
Penjual gorengan, bakso, mie, nasi uduk, nasi goreng,
penjual sate, penjual buah, penjual sayur, penjual perabot, penjual baju, penjual
ikan, daging, kerupuk, roti, penjual mainan anak, wahana main keliling
(odong-odong), sampai penjual pakaian dalam, semua ada di Jakarta.
Pernah gak kebayang jika mereka semua jualan di Pulau
Muna?
Penjual gorengan, bakso, mie, nasi goreng, atau penjual sate, mulai jalan lalu dorong
gerobak dari Desa Wandoke menuju Desa Lasama. Mereka jalan, ketok-ketok piring baksonya
pakai sendok.
Rumah pertama, kedua dan ketiga, siul-siul semangat.
Rumah keeempat, dan kelima siul-siulnya mulai hilang. Rumah keenam dan ketujuh penjualnya
mulai urut-urut betis, rumah kedelapan ban gerobaknya meletus.
Kenapa? Jarak satu rumah dengan rumah yang lain 1 kilo
dibatasi hutan. Jalanya batu-batu berlubang.
Penjual sayur, buah, dan penjual ikan…mulai keliling genjot
gerobaknya. Star dari Desa Lasama ke Desa Tondasi. Rumah pertama yang punya
rumah lagi panjat pohon kelor mau petik daunnya untuk masak sayur. Rumah kedua dibelakang
rumahnya ada kebun pepaya, dan pohon pisang. Rumah keempat, sudah sampai di
pelabuhan Tondasi, sudah laut. Tidak ada lagi rumah. Sudah laut Banda.
Penjual perabot, dan pakaian. Penjual ini lebih keren,
pakai mobil open, seperti yang marak di Jakarta. Sampai di Pulau Muna, di Desa
Lindo, penjualnya teriak, parabooot….parabooottt….parabooottt..!!! lima ribu
tigaaa…..lima ribu tigaaa….!!!!
Beberapa wanita datang, sudah cantik, pakai lipstik, dan bedak walaupun dari beras
yang ditumbuk. Penjualnya mulai senang, optimis barangnya laku. Penjual
bertanya, mau beli apa? Si Wanita “Mau kepasar ingkaa…”. Penjual “Tidak usah
kepasar, disini juga ada, mau beli apa saja ada?”. Si Wanita, “Saya mau
jalan-jalan saja…!!”. Yah karena disitu tidak ada mall. Tempat jalan-jalan yah pasar.