Sejak masa pemerintahan
La Eli alias Baidhuldhamani yang bergelar Gelar Bheteno Ne Tombula, Raja Muna pertama
tahun 1371, kain tenun Muna atau Kamooru (dalam bahasa suku Muna) dijadikan
salah satu alat pembayaran yang sah misalnya untuk pembayaran pajak. Begitu
berhargaanya tenun Muna pada saat itu.
Pada tahun 90an, tenun Muna memang sudah tidak lagi dijadikan alat pembayaran tetapi masih menjadi salah satu benda berharga dilingkungan masyarakat Muna. Karena nilainya itu, setiap orang dewasa menganggap sebuah kewajiban untuk memiliki Kamooru. Dikarenakan setiap lembar Kamooru memiliki filosofi mendalam yang menggambarkan kehidupan sosial maupun status pemakainya.
Kemudian dari cara pemakaiannya, kita dapat mengetahui siapa pemakainya, misalnya dari golongan bangsawan (Kaomu), golongan pemerintahan (Sara), atau golongan Walaka yang duduk di legislatif, yudikatif (untuk istilah saat ini).
Pada tahun 90an, tenun Muna memang sudah tidak lagi dijadikan alat pembayaran tetapi masih menjadi salah satu benda berharga dilingkungan masyarakat Muna. Karena nilainya itu, setiap orang dewasa menganggap sebuah kewajiban untuk memiliki Kamooru. Dikarenakan setiap lembar Kamooru memiliki filosofi mendalam yang menggambarkan kehidupan sosial maupun status pemakainya.
Kemudian dari cara pemakaiannya, kita dapat mengetahui siapa pemakainya, misalnya dari golongan bangsawan (Kaomu), golongan pemerintahan (Sara), atau golongan Walaka yang duduk di legislatif, yudikatif (untuk istilah saat ini).
Untuk Golongan Kaomu, cara pemakaian sarungnya yaitu kain sarungnya berada diatas lutut. Dalam masyarakat Muna semakin keatas pemakaian sarungnya disebutkan semakin tinggi posisi golongan pemakaiannya. Sebaliknya semakin ke bawah pemakaian sarungnya disebutkan semakin rendah posisi pemakaiannya.
Pada golongan Sara, cara pemakaian sarungnya yaitu kain sarungnya berada di bawah lutut. Panjang kain sarung yang berada di bawah lutut tersebut lebih kurang 2 cm. Kemudian pada golongan Walaka, cara pemakaian sarungnya yaitu kain sarungnya berada di bawah lutut sekitar 30 cm atau sejengkal jari tangan.
Pada masa 90an itu tenun Muna benar-benar menjadi primadona dipasaran karena tingginya permintaan. Tenun Muna merajai sejumlah pasar tradisional baik pasar desa, kecamatan maupun kabupaten. Budaya Mooru (Budaya menenun kain Muna) yang telah melekat sejak tahun 1371 saat itu masih terpelihara dengan baik keberadaannya.
Hampir setiap desa memiliki penenun sendiri yang sehari-harinya memproduksi kain untuk kebutuhan masyarakat di desanya. Para penenun yang mayoritas dilakukan ibu-ibu rumah tangga itu masih mempertahankan alat tenun tradisional gedong yang terbuat dari kayu dan bambu. Masyarakat Suku Muna mempercayai bahwa untuk melahirkan selembar Kamooru beserta filosofinya tidak mudah karena harus didahului dengan jiwa yang bersih, tenang, dan dikerjakan dengan penuh kehati-hatian.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan kebijakan pemerintah untuk mendorong produk-produk lokal sebagai komoditi unggulan, budaya Mooru ini semakin terkikis dan saat ini sudah sulit dijumpai. Dari hampir seluruh kecamatan pada tahun 90an, saat ini hanya tinggal beberapa desa saja yang mempertahankan budaya ini. Antara lain, Desa Matakidi Kecamatan Lawa, Tampo, Kecamatan Napabalano, dan beberapa desa di Kecamatan Wakuru.
Sementara Desa Masalili yang dulunya mempertahankan budaya Mooru kini beralih ke Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM). Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Kabupaten Muna yang memusatkan produk tenun Muna di desa itu. Mereka inilah yang menjadi produsen utama tenun Muna yang saat ini produk-produknya menguasai pasar di Kabupaten Muna maupun Sulawesi Tenggara.
Dengan kemampuan produksi ATBM dimana 15 kali lebih cepat dari produksi alat tenun gedong yang butuh 5 sampai 8 hari untuk satu lembar kain ukuran 60 cm x 4 meter, produk ATBM menjadi penguasa pasar saat ini. Pemerintah mengklaim sukses mendongkrak produktivitas Tenun Tradisional menuju pasar global.
Celakanya, pertama, dari sisi produk, tenun produksi ATBM sudah mengenyampingkan sejarah dan filosofi setiap lembar kain. Motif-motif tenun Muna yang tadinya telah ada dengan ribuan filosofinya menjadi tidak berarti lagi. Para pengrajin ATBM dengan mudah memasukkan sejumlah motif baru sesuai dengan permintaan pasar yang dimotori oleh Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda). Alasannya, Tenun Muna selama ini kolot dan kalah bersaing dibanding dengan tenun daerah lain yang kaya akan motif sehingga perlu penambahan motif baru.
Padahal dalam sejarah Kamooru, motif-motif tenun Muna secara turun temurun sudah memiliki nama-nama dan motif-motif tersendiri sesuai makna yang terkandung didalamnya. Seperti Bhotu, Samasili, Bharalu, Djalima, Ledja, Kaparanggigi, Bhia-Bhia, Paghino Toghe, Katamba, Kapododo, Lante-Lante, Kaburino, Finding Konini, Bhotu, dan Kambeano Bhanggai. Nama-nama tersebut telah memiliki motif dan warna tersendiri yang tidak dapat dirubah apalagi menambahkan motif baru didalamnya.
Penambahan motif baru dan penyesuaian warna berdasarkan permintaan pasar maka secara langsung akan mengurangi filosofi bahkan menghilangkan arti dalam setiap lembar kain itu sendiri. Bagi para penenun tradisional sangat memegang teguh budaya ini dan mereka mengerti arti dari selembar kain sehingga mereka hanya menenun motif-motif yang telah ada sejak dahulu kala.
Kedua, kehadiran ATBM akan menghilangkan pendapatan penenun tradisional yang selama ini menjadi sumber pendapatan ibu-ibu rumah tangga karena mereka kalah bersaing dalam hal produktivitas. Sehingga secara perlahan mereka akan beralih dan mencari sumber pendapatan lain seperti bertani. Akibatnya, 5 atau 10 tahun kedepan bisa jadi budaya Mooru di Pulau Muna Provinsi Sulawesi Tenggara tidak akan terlihat lagi.
Budaya Mooru bukan tidak memiliki potensi di pasar Global, buktinya sejak tahun 2011 hingga saat ini, produk tenun tradisional gedong yang dipasarkan menggunakan media sosial mampu menembus pasar Eropa dan Amerika. Antara lain, Jerman, Denmark, Prancis, Qatar, Bruney Darussalam, dan Amerika Serikat. Para pembeli Kamooru tertarik karena kandungan filosofi yang ada didalamnya, dan tidak sedikit juga yang tertarik untuk melihat langsung proses penenunan kain.
Kondisi ini sangat memungkinkan melahirkan pendapatan baru di sektor pariwisata Kabupaten Muna melalui pelestarian Budaya Mooru dengan cara membentuk kampung-kampung tenun. Dengan demikian selain dapat meningkatkan produktivitas tenun tradisional Muna, menjadi icon wisata baru, juga dapat mempertahankan eksistensi Budaya Mooru Pulau Muna.