Masalili, nama desa
itu, sebuah perkampungan yang cukup dikenal di Sulawesi Tenggara karena kampung
ini menjadi salah satu pusat kerajinan tenun tradisional Khas Pulau Muna.
Mayoritas penduduknya khususnya ibu-ibu adalah penenun.
[ Read More ]
Alasan itulah yang
membuat saya menyempatkan diri mampir ke kampung tersebut untuk melihat karya-karya
menakjubkan masyarakatnya.
Menggunakan sepeda motor pinjaman dari paman yang usianya sudah 18 tahun, ditemani kaca mata hitam harga Rp 30 ribu yang dibeli dari Pasar Tradisional Laino, rasanya tampilan saya tidak kalah dengan Tom Cruise. Tetapi sayangnya saya hanya berada di Muna yang orang sangat familiar dengan nama Asep Irama.
Menggunakan sepeda motor pinjaman dari paman yang usianya sudah 18 tahun, ditemani kaca mata hitam harga Rp 30 ribu yang dibeli dari Pasar Tradisional Laino, rasanya tampilan saya tidak kalah dengan Tom Cruise. Tetapi sayangnya saya hanya berada di Muna yang orang sangat familiar dengan nama Asep Irama.
Perjalanan dari
pusat kota Raha ke Desa Masalili tidak terlalu lama hanya butuh waktu 20 sampai
40 menit. Di desa itu, saya bertemu
dengan tiga kelompok penenun yang mana dalam satu kelompoknya terdapat 10
sampai 15 pengrajin.
Desa itu sudah cukup
modern untuk cara menenunnya karena beberapa diantaranya sudah menggunakan ATBM
atau (Alat Tenun Bukan Mesin). Sementara jika dibandingkan dengan daerah-daerah
lain seperti Lawa, Wakuru, dan Kambaara, masih bertahan dengan alat tenun
gedong.
Saya pribadi memang
sangat menyukai kain tenun Pulau Muna, dan saya aktif mempromosikan kain ini ke
berbagai penjuru nusantara maupun ke manca negara melalui website www.tenunmuna.co.vu.
Tepat pukul 17.40,
saya sampai ke kelompok penenun terakhir dan secara kebetulan ketua kelompok
penenun itu masih mengingat saya ketika bertemu di Kementerian Pariwisata di
Jakarta. Obrolan semakin seru dan tidak disadari waktu sudah menunjukkan pukul
18.30.
Di bawah rintik
hujan, serta matahari yang sudah enggan
memberikan sinarnya, saya semakin gelisah karena kondisi ini tidak tepat untuk
melanjutkan perjalanan pulang ke kota Raha.
Rasa laparpun mulai
berbisik dari balik perut Sixpack-ku
yang mulai memudar berganti onepack. Tetapi
lambat laun bisikan-bisikan itu tak lagi terdengar setelah mataku fokus melihat
anak-anak kecil yang bermain hujan dengan asyik. Seorang teman dari Jakarta berteriak
“Nak….jangan main hujan nanti sakit”.
Teriakan itu
disahuti dengan senyum oleh beberapa ibu-ibu “Tidak apa-apa mereka main hujan
biar kekebalan tubuhnya meningkat dan tidak gampang sakit,”. Mendengar jawaban
itu teman saya yang dari Jakarta tersenyum dan diam. Sayapun sedikit menunduk
menahan tawa karena saya sadar bahwa apa yang dilakukan oleh beberapa anak
kecil itu sering saya lakukan dulu saat tinggal bersama nenek di Lasosodo,
Kecamatan Lawa.
Tetapi entahlah, jika penjelasan ibu-ibu tadi sudah mendapat pengakuan secara ilmiah, Yang jelas, mandi-mandi hujan itu sudah menjadi tradisi.
Tetapi entahlah, jika penjelasan ibu-ibu tadi sudah mendapat pengakuan secara ilmiah, Yang jelas, mandi-mandi hujan itu sudah menjadi tradisi.
Sekitar 50 meter dari
kios kecil tempat para ibu-ibu penenun itu berkumpul, nampak dua orang bocah
perempuan duduk di deuker dengan membawa daun pisang sebagai naungannya. Saya
langsung menghampiri mereka karena melihat salah satu anak itu membawa tempat
makanan layaknya orang berjualan.
Dan firasatku tepat,
anak itu menjual ubi goreng dengan harga Rp 500 per potong. Saya segera memeriksa
uang di saku celana sambil bertanya “Benar ini nak harganya Ro 500? Kamu tidak
salah?,”. Dengan malu-malu dan tersenyum sambil menjawab seadanya “Iya, benar”.
Dengan lahap saya
memakan satu persatu ubi goreng itu, sementara kedua anak itu heran melihatku seperti
manusia kalap yang tidak pernah mengenal makanan selama 77 jam. Tapi sudahlah, yang
terpenting bagi saya adalah memakan ubi goreng jualan anak itu hingga habis.
Sekitar 15 menit
saya duduk disitu meninggalkan kerumunan ibu-ibu penenun dan hasilnya perut
saya kenyang tanpa terhitung lagi berapa potong ubi yang menyelinap masuk. Di wadah tempat berjualan anak itu masih tersisa sekitar 10an
potong ubi goreng. Saya lalu membayar dan membungkus ubi itu untuk dibawa ke
kerumunan ibu-ibu.
Malam semakin larut
dan hujanpun tidak beranjak dari langit Masalili, kondisi itu membuat saya
habagia untuk menerobosnya karena saya memiliki alasan untuk menangis tanpa
semua orang tau bahwa air mata saya menetes.
Sementara Inda murid
kelas 6 SD 13 Kontunaga, si penjual ubi goreng tadi biarlah pulang kerumah
dengan senyum bahagia sambil berkata kepada orang tuanya “Inaa…nowolomo
kadaoaku (Jualan Saya Sudah Habis)”.
Laporan itu sangat
dinanti oleh orang tua takkala ia menitipkan anaknya untuk menerobos pintu
rejeki yang disediakan Tuhan dengan cara berjualan seperti tadi. Kenapa? Karena
saya pernah melihat kehabagiaan serupa ketika saya duduk dibangku Sekolah Dasar
kelas 3 hingga 5 SD di Lailangga. Dan dua kalimat itu sangat membahagiakan Ibu
saya ketika pulang dari keliling tiga desa untuk berjualan ubi goreng.