Selain di sektor makan dan minuman, retail dan
kesehatan, sektor pendidikan di Indonesia juga menjadi pasar empuk yang banyak
dibidik oleh franchise asing. Bermodalkan nama besar dan jaringan internasional
yang dimiliki, mereka sukses melakukan penetrasi pasar di Indonesia.
Kehadiran sejumlah franchise pendidikan asing ke
Indonesia menjadi menarik ditengah kualitas fasilitas pendidikan di Indonesia
khususnya anak-anak usia dini kurang memadai dan kurang inovatif.
Kekuatan sistem yang dimiliki franchise asing ini mampu
memberikan jaminan kenyamanan tersendiri kepada para orang tua untuk menitipkan
anaknya disana. Walaupun konsekuensinya adalah para orang tua murid harus
merogoh kocek lebih dalam untuk sebuah fasilitas yang super mewah.
Pertanyaannya, seberapa menarikkah market Indonesia di
sektor pendidikan? Bagaimana implikasi dari metode pendidikan yang dibawa oleh
franchise luar tersebut? Dan pelajaran apa yang bisa dipetik dari mereka? Serta
efek apa yang dilahirkan secara positif dan negatif dari kehadiran mereka?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan terjawab dalam
ulasan berikut bersama ahli pendidikan Indonesia, yang juga Rektor Universitas
Negeri Jakarta, Prof. Dr. H. Djaali.
Saat ini ada banyak franchise-franchise pendidikan
asing yang masuk ke Indonesia, apa tanggapan Bapak?
Sah-sah saja selama memberikan dampak positif terhadap
pengembangan kapasitas intelektual anak, pembangunan moral, akhlak, dan
keterampilan anak-anak karena itulah fungsi dari pendidikan.
Mengapa mereka ramai mengincar Indonesia?
Pertama bisa jadi jumlah penduduk Indonesia yang
begitu banyak sehingga dinilai bahwa Indonesia sebagai market potensial bagi
mereka. Kedua pendidikan itu adalah kebutuhan sehingga peluang pasarnya selalu
terbuka lebar.
Apakah kehadiran mereka ke Indonesia akibat kurang
memadainya infrastruktur pendidikan kita?
Kita bisa memetik pelajaran dari kehadiran mereka
(franchise pendidikan asing). Biasanya mereka hadir dengan fasilitas memadai
sehingga banyak yang memilih sekolah-sekolah seperti ini. Ini adalah tantangan
bagi dunia pendidikan kita.
Pemerintah harus menghadirkan sekolah-sekolah yang
bagus, tetapi kondisi ini bisa agak sulit karena tantangan terberat adalah
masyarakatnya sendiri yang mengutamakan gengsi.
Kedua, pemerintah kita sebenarnya yang mengurusi
pendidikan banyak yang kurang paham sehingga pendidikan diurus berdasarkan
pemahaman mereka. Pendidikan itu harus menyesuaikan keinginan anak, bukan
keinginan menteri, presiden atau siapapun.
Pendidikan yang baik adalah menyesuaikan potensi anak,
perkembangan anak, kebutuhan anak, lingkungan anak, yang semua itu diarahkan
untuk mencapai tujuan untuk mencapai kompetensi yang kita harapkan.
Bagaimana dengan sistem pendidikan yang mereka bawa ke
Indonesia, jika mengacu pada kultur Indonesia?
Mereka harus menyesuaikan, bukan menyesuaikan dengan metode pendidikan
kita tetapi dalam artian mereka harus
menyesuaikan dengan karateristik anak-anak kita.
Mengapa demikian? Bukankah arahnya pendidikan atau
sistem yang mereka ajarkan itu juga sama seperti pada umumnya misalnya mengarah
kepada melatih motorik dan sensorik anak?
Pendidikan apapun mau dari negara luar, dari Indonesia
semuanya harus menyesuaikan dengan karateristik anak yang meliputi potensinya,
perkembangan intelektualnya, kebutuhannya, lingkungannya, jadi metodologi
pendidikannya itu harus menyesuaikan dengan ini termasuk yang internasional.
Jadi selama mereka menyesuaikan hal itu, Bapak setuju
dengan banyaknya franchise-franchise pendidikan asing di Indonesia?
Kalau franchise pendidikan internasional satu lagi,
dia harus beradaptasi dengan budaya-budaya kita. Makanya saya tidak setuju
kalau sekolah-sekolah itu terlalu banyak di Indonesia apalagi untuk anak-anak.
Kalau untuk perguruan tinggi tidak masalah. Karena untuk anak kecil itu, di
usia TK, SD itu adalah usia emas, disanalah kita meletakkan dasar-dasar
keimanan, ahlak, moralitasnya, nasionalismenya, kebanggan berbangsanya,dan
sebagainya.
Jika metodologinya sudah disesuaikan dengan kultur
kita itu tidak ada masalah. Bahwa jika mereka
banyak aktifitas penanaman nilai, aktifitas motorik itu bagus. Jadi bukan nasional atau
internasionalnya hanya mereka harus menyesuaikan dengan budaya kita. Yang
bahaya inikan sekolah internasional yang terlalu cepat mengajari yang
tinggi-tinggi seperti berhitung. Pada anak usia dini itu harus dibebankan prsi
besar untuk internalisasi nilai-nilainya.
Mereka adalah bisnis franchise yang telah memiliki
SOP, Sistem, module, dan kurikulum sendiri untuk diajarkan di Indonesia, dan
metode pengajaran mereka atau sistem pengajaran mereka tersebut menjadi
keunggulan masing-masing brand, apakah hal itu sejalan dengan sistem pendidikan
yang di butuhkan di Indonesia?
Intinya seperti ini, proporsi penanaman nilainya
semakin tinggi usia anak maka semakin mengecil
porsinya. Misalnya untuk kelas 1 SD itu mestinya 70 persen bersifat
penanaman nilai, ilmunya itu 30 persen. Sementara kita kadang-kadang di TK pun
50 persen sudah diajari membaca menulis. Mestinya itu jangan dulu belajar itu,
bermain saja dulu bagaimana bersosialisasi, bagaimana dia jujur, suportif,
bermain. Jadi yang harus dituruti dan dilihat adalah kebutuhan sang anak.
Selama porsinya seperti gambaran tadi maka sah-sah saja.
Kadang-kadang memprihatinkan juga karena kadang orang
kaya menghabiskan uangnya untuk merusak anaknya. Misalnya saya kasi contoh,
tahun 75 kita mengajarkan matematika modern di SD inikan kesalahan besar.
Sehingga sekarang SD itu hanya berhitung karena matematika modern itu mengandung
konsep-konsep abstrak yang belum bisa diajarkan kepada anak SD. Karena struktur
anak pada SD itu masih pada tahap operasional kongkrit.
Anak-anak pada sensorik motorik dan pra operasional
ini belum bisa kita ajarkan konsep-konsep. Mereka masih lebih kepada bermain
yang penting melalui bermain ini bisa ditanamkan aspek moralitas, ahlak, budi
pekerti, toleransi, kejujuran, suportivitas, itulah yang perlu kita tanamkan
kepada mereka. Itu untuk pendidikan anak kecil, tetapi kecenderungan tadi
adalah masih terlalu dini anak-anak itu sudah diajarkan menulis, membaca, sudah
diajarkan berhitung yang canggih ini bisa merusak perkembangan struktur
intelektual. Karena memang struktuk kognitif mereka belum siap untuk itu. Makanya TK itu memang taman untuk
bermain bukan untuk menimba ilmu pengetahuan.
Apa efek ketika terlalu cepat belajar dan kurang
bermain?
Jika belajar konsep atau teori menjadi beban sang anak
akan terjebak pada belajar hafalan karena pelajaran itu harus dia tau padahal
struktur kognitifnya belum sampai. Maka akhirnya dia menghafal, dia drill
artinya mengulang-ulangi tetapi konsepnya tidak tertanama tau tertangkap.
Akhirnya perkembangan logika berfikir atau kapasitas intelektualnya menjadi
terhambat karena manusia itu ada dua kemampuan khas secara intelektual ada
kemampuan mengingat ada kemampuan berfikir logis.
Kemampuan mengingat anak anak itu lebih kecil
dan makin tua orang makin menurun. Tetapi kemampuan berfikir logis, makin tua
orang makin naik, jadi pengajaran konsep abstrak yang terlalu awal akan membuat
anak terjebak dalam belajar drill tadi. Dalam saat yang sama akan menumpulkan
dan menghambat berfikir logisnya.(Diulas di Majalah Franchise Indonesia edisi November 2015).