Annisa tertidur lelap kecapean
dengan genggaman secarik kertas ditangan kanannya ditemani sayup-sayup angin
dari keheningan. Suara jangkrik seakan jadi musik penyejuk ditengah garangnya rerumputan
liar dipekarangan Annisa.
Keesokan harinya, Iapun
berusaha tetap tegar, dan kembali membaca sepintas isi surat itu. Beberapa
lembar pakaiannya yang kusut, diraihnya satu persatu, bekal singkong tak lupa
ia masukkan kedalam tas untuk persiapan bekal dalam perjalanan ke kota seberang.
Tiba-tiba langkah kakinya
tergetar menginjak satu persatu anak tangga pondoknya, seolah tak rela
meinggalkan istana yang telah membesarkannya bertahun-tahun itu. Namun tekad
dan panggilan sang Ibulah yang membuatnya harus ikhlas. Annisa terus melangkah
pergi, meinggalkan kebunya, sesekali ia menengok kebelakang memperhatikan semua
kenangan-kenangannya.
Untuk seorang wanita,
merupakan hal yang mustahil menempuh ratusan kilometer menuju kota tanpa uang
sepersen pun. Namun dengan tekadnya yang kuat ia berani mengambil keputusan itu
dengan segala resiko.
Dalam perjalanan menuju
kota seberang itu, Annisa harus melewati hutan, pegunungan, perkampungan, dan
menyeberangi sungai. Energi ekstra sudah pasti dibutuhkan dalam perjalanannya.
Hingga suatu ketika,
Annisapun terengah-engah karena kecapean setelah menempuh perjalanan selama 5
hari. Salah satu pohon rindang yang berada dibalik bukit desa Adimulyo menjadi
pilihannya untuk beristirahat. Perut keroncongan, karena beberapa potong
singkong rebus telah habis ia makan sehari sebelumnya, air mineralnya pun
tinggal beberapa teguk. Iapun menyandarkan kepalanya kebatang pohon tersebut
sambil berdoa dalam hati “Ya Tuhan..sesungguhnya aku hadapkan wajahku kepadaMu
dan janganlah Engkau jadikan nasib buruk kepada kami didalamnya berupa kelaparan
dan kehausan,”.
Annisa nampak tertidur
pulas, dengan perut keroncongan hingga mentari meredupkan cahayanya, yang disusul
oleh gerimis. Jari-jari lentik Annisa mulai bergerak perlahan, seperti isyarat
sesuatu telah merayapi tubuhnya. Bulu kuduknya mulai merinding, darahnya serasa
membeku karena takmampu lagi mengaliri keseluruh tubuhnya. Kaku dan dingin
menggigil dirasakannya seketika.
“Ohh tidak, hewan apa ini,”
tanya Annisa kegelapan.
Jari-jari tangannya
berusaha meraba-raba dibawah bintang dan bulan yang berselimutkan awan tebal, Ia
ingin memastikan bahwa sesuatu yang merayapinya itu bukanlah hewan berbahaya.
“Oh tidak, rupanya kamu
kedinginan yah,” kata Annisa setelah memastikan bahwa tamu tak diundang itu
adalah seekor kucing yang sedang kedinginan diterpa gerimis.
Kucing itu didekapnya,
untuk memberi penghangatan layaknya seorang ibu yang meluapkan kasih sayangnya
kepada sang anak. Annisa melanjutkan tidurnya dibawah pohon besar untuk
menghindari hujan yang lebih lebat, ditemani seekor kucing kecil yang mestinya
masih dibawah perlindungan induknya.
Dari arah barat, nampak cahaya
lentera yang semakin lama semakin mendekat padanya, Iapun mulai was-was kembali
dan berjaga. Dan memang benar, rupanya cahaya itu mengarah padanya. Iapun mulai
melawan rasa takut dan berusaha menenangkan diri.
Siapakah Pembawa cahaya
itu? Apa tujuannya, dan bagaimana Annisa mengatasinya.? Nantikan di kisah
berikutnya. (Bersambung ke bag.III)
Baca Juga Wasiat Ibu Terakhir I yang di Publikasikan di bulan Juni 2013 atau link http://julhansifadi.blogspot.com/2013/06/wasiat-ibu-terakhir.html