Sendok-sendok
didapur mulai berdenting akibat menyentuh dinding-dinding gelas berisi air yang
digerakkan perlahan oleh tangan halus seorang wanita. Kicauan burung
bersahutan, semakin memperjelas bahwa hari sudah pagi.
Selimut,
bantal, tempat tidur, serta berbagai perkakas yang digunakan semalan serentak kutinggalkan,
lalu beranjak ke kamar mandi untuk cucimuka biar terlihat segar.
“Ini tehnya,”
kata seorang gadis cantik menghampiriku diteras rumah dan menawarkan segelas teh
panas sebagai teman menikmati hijaunya pemandangan Desa Karangwungu Kecamatan
Karang Dowo Kabupaten Klaten-Jawa Tengah.
Memang tiga
hari sudah aku berada di desa tersebut, dan setiap hari aku memandangi pekarangan
rumah yang penuh dengan tanaman padi, udaranya begitu segar, masyarakatnya
begitu santun walaupun bahasanya cukup halus untuk dimengerti oleh seorang
perantau yang hanya pernah mengenal Surabaya seperti aku.
Pemandangan
itu cukup menyejukkan karena suasana yang sudah jarang dijumpai di Kota Kendari
maupun di Kabupaten lain di Sultra.
Kucoba
meneguk teh pemberian tuan rumah, sambil sesekali memandang jalan yang dilalui
para siswa maupun siswi sekolah mulai pelajar SD, SMP hingga SMA. Rupanya nyaman
juga hidup didesa tanpa polusi dari asap-asap genset maupun knalpot motor-motor
modif seperti di Kendari.
Belum cukup
lima teguk teh panasku, lewatlah rombongan pelajar SMA. Dengan semangat
mengayun sepeda masing-masing yang warna, bentuk, dan modelnya sama, yakni
memiliki keranjang dibagian depannya.
Rupanya
bukan hanya wajahnya yang cantik tanpa polesan bedak Oriflame, dan lipstik mirabella,
namun tenaganya juga yang kuat.
Bisa
dibayangkan, jarak antar desa Karangwungu dan sekolah tempat mereka belajar
kurang lebih 5 kilometer. Sungguh pahlawan sejati yang mampu melanjutkan
cita-cita Ibu Kita Kartini.
Jika
dilihat dari kondisi rumah-rumah masyarakatnya, sangatlah tidak mungkin jika
dikategorikan warga kurang mampu jika hanya membeli sebuah sepeda motor.
Atapnya
rata-rata dari genteng, dinding terbuat dari batu bata atau beton, sebagian
besar rumah-rumah di desa itu berlantai keramik. Aah, tarik nafas panjang saja
sambil menghabiskan sisa teh sajian si cewek cantik tadi.
Keesokan
harinya, akupun mencoba mengayun sepeda tua tahun 1972 milik Mbah pemilik rumah
tempatku tinggal menuju Kecamatan Pedan yang merupakan salah satu pusat
aktifitas bisnis berjarak kurang lebih 4 km dari tempatku.
Didepan
salah satu SMA Negeri di Pedan, aku memperlambat ayunan sepedaku, dengan
sedikit pede, aku mencoba menghampiri siswi-siswi yang hendak pulang kerumah
karena jam sudah menunjukkan pukul 13.00 wib.
Hanya satu
kalimat pertanyaan yang aku lontarkan kemereka, yaitu mengapa kesekolah tidak
menggunakan sepeda motor. Hal itu untuk membunuh rasa penasaranku.
Dan rupanya
jawabnya pun singkat, “Takut dihukum guru dan tidak diikutkan belajar, jika
membawa sepeda motor kesekolah,”.
Sambil
berhayal, akupun kembali ke Desa Karangwungu, mengayun sepeda perlahan, menoleh
kekiri dan kekanan, lalu berkata dalam hati, “Andai saja itu Kendari, maka tak akan
lagi tanganku menulis berita Siswa SMU Meninggal Digilas Truk,”.
“Mas..mas…mas…mau kemana?” seorang wanita
meneriakiku dari jarak 50 meter. Waduh, rupanya hayalannku membuat semangat mengayun
sepeda sampai-sampai rumah tempatku tinggalpun kelewatan. (Diambil dari kisah nyata).