
Tapi sudahlah, saya segera meninggalkan lingkungan
perumahan menuju akses jalan utama untuk menunggu taxi ke bandara Soekarno
Hatta. Hari itu saya diwanti-wanti agar pukul 6 harus sudah di bandara karena akan
berangkat pada pukul 08.00 menuju Bali.
Tidak ingin mengambil resiko, sayapun telah
mempersiapkan diri untuk berangkat lebih awal mengingat jarak Duren Sawit
tempat tinggalku menuju bandara cukup jauh. Belum lagi menghadapi kemacetan ibu
kota.
Pukul 05.00 saya sudah sampai di Bandara dan ternyata
sudah banyak teman-teman yang bersantai di sana. Seorang wanita berambut
panjang tiba-tiba menyapaku dengan semangat dari raut wajahnya, “Hai mas
Julhan, apa kabar terimakasih sudah mau hadir?”. Ia mengeluarkan beberapa
lembar catataannya lalu mencontreng nama saya pertanda telah hadir ditempat
itu.
Wanita itu memang akan disibukkan dengan urusan perjalanan
saya dan rekan-rekan wartawan lain yang jumlahnya kurang lebih 50an orang dari
berbagai media. Dia adalah Lizza Semestany, Marketing
Communication Department PT Epson Indonesia.
Setelah beberapa saat berkumpul di terminal 2F
keberangkatan domestik, Lizza mengarahkan kami menuju lounge. Disanalah kami bersama rekan lain sarapan dan bersantai
sambil menunggu keberangkatan pesawat.
Canda dan tawa menghiasi ruang bersantai itu hingga
pukul 09.30 dan tanpa disadari ternyata waktu keberangkatan sudah lewat 1 jam
dari waktu keberangkatan semestinya.
Saya memerhatikan beberapa rekan yang duduk disekitar
termasuk Lizza dan beberapa panitia Epson yang lain tampak masih bersemangat.
Tidak satupun dari mereka yang memperlihatkan kekhawatiran tentang informasi
ditutupnya bandara Ngurah Rai Bali akibat erupsi gunung Rinjani.
Seorang ibu berkerudung yang tadinya sibuk
modar-mandir dan menelepon kiri kanan tiba-tiba meminta waktu sesaat kepada
kami untuk mendengarkannya.
Dengan suara terbata-bata “Kami memohon maaf karena
baru saja mendapatkan konfirmasi bahwa pesawat Garuda Indonesia yang akan kita
tumpangi tidak dapat mendarat di Ngurah Rai Bali. Untuk itu keberangkatan kita
hari ini ditunda besok pagi dan kami akan selalu meng update informasi terkini jika sewaktu-waktu bandara Ngurah Rai telah
di buka kembali,” kata Ibu itu.
Saya belum mengenal Ibu itu, tetapi yang pasti ia
adalah salah satu penanggung jawab atas keberangkatan rombongan wartawan menuju
Bali. Seluruh rombongan wartawan berusaha menenangkan Ibu itu yang matanya
berkaca-kaca.
“Kami mengerti Bu, ini adalah kondisi alam yang tidak
bisa diprediksi dan tidak diinginkan oleh siapapun,” kata salah satu rekan yang
duduk di kursi paling pojok.
Pasca informasi itu, Lizza dan tim mempersiapkan
akomodasi kepulangan wartawan menuju rumah masing-masing sambil menunggu
informasi selanjutnya.
Sepanjang perjalanan menuju bandara saya menghubungi
istri saya untuk memberi kabar bahwa saya tidak jadi berangkat dan akan mampir
liputan di daerah Gatot Subroto. Pukul 15.40 barulah kembali ke rumah dengan
disambut anak dan istri serta satu keponakan. Malaikat kecil saya begitu senang
melihat saya pulang karena pagi tadi saya tidak sempat berpamitan dengannya.
Tidak lama bercanda dengan anak, telepon genggam yang
ada di saku saya tiba-tiba berdering. Sebuah pesan singkat di grup Whatsapp memberitahukan
bahwa keberangkatan menuju Bali hari itu telah terkonfirmasi pada pukul 21.15.
Saya terdiam sejenak sambil menatap anak saya yang
sedang asyik bermain ayunan di kaki saya. “Ayah kenapa diam yok main ayunan
lagi,” kata anak saya. “Maaf yah nak, ayah harus berangkat ke bandara, mainnya
sama bunda aja yah,” kataku.
Saya segera bergegas mandi, pakaian, dan keluar
menunggu taxi menuju bandara karena jam-jam itu merupakan jam macet. Saya tidak
mengarahkan taxi untuk masuk ke jalur tol, saya lebih memilih jalur umum dalam
kota untuk menghindari macet dan tepat pukul 20.12 saya sudah sampai di teriminal
kedatangan 2F. Saya bersama reka-rekan lain kembali menunggu di lounge bandara.
Hingga pukul 21.00, 21.30, 22.00 sampai 22.30 kabar
keberangkatan belum juga ada, sementara tiket pesawat sudah dipegang
masing-masing. Pukul 23.00 kami diminta memasuki ruang keberangkatan melalui
pintu 4F. “Alhamdulillah akhirnya berangkat juga,” kataku dalam hati.
Sesampai diruang tunggu pintu 4F, seorang staf Garuda
menghampiri penumpang dan ia mengatakan tidak ada lagi penerbangan menuju Bali
malam itu.
Ibu berkerudung tadi kembali mencak-mencak kepada
panitia tour ”Anda tidak bisa seperti
itu, Anda harus bertanggung jawab dan saya tidak mau tau itu,” kata Ibu itu.
Akhirnya seluruh rombongan kembali ke ruang cekkin
bandara yang berada di bagian depan.
Setelah negosiasi dengan pihak Garuda, waktu
keberangkatan menuju Bali akhirnya di jadwalkan ulang pukul 04.20 atau
pemberangkatan Garuda pertama. Lizza dan panitia lain kembali disibukkan dengan
urusan penginapan malam itu yang hanya tersisa 3 jam untuk istirahat.
Tiga lounge
terpaksa disiapkan oleh panitia. Sementara saya kebagian di salah satu lounge kedatangan Garuda yang berada di
lantai bawah bandara. Sebuah kursi sofa berwarna cream yang biasa digunakan
untuk duduk para penumpang terpaksa kami gunakan untuk tidur dan merebahkan
badan. Sebagian dari rombongan memilih tidur dilantai berbantalkan sandaran
sofa.
Malam itu saya merasa sangat lelah, sangat kesal dan
sangat marah apalagi sebelum itu kami harus dipimpong sana sini mencari lounge
untuk tempat istirahat. Sempat terlintas untuk membatalkan perjalanan malam itu
dan kembali kerumah. Tetapi Lizza dan dua orang panitia Epson lain yang juga
wanita masih begitu bersemangat dan mereka mampu menyembunyikan rasa capek dari
raut wajahnya yang seharian mengurusi kami. Mereka berusaha tetap tersenyum,
ramah dan bekerja maksimal demi kenyamanan perjalanan kami tanpa menghiraukan
diri mereka sendiri.
Mungkin rasa iba inilah yang mampu memupus amarahku
sebagai seorang laki-laki yang nyaris kalah dengan tiga wanita itu. Dalam
ruangan lounge beranjak tidur saya
memerhatikan ketiga panitia Epson itu. Tak terkecuali Lizza yang bahkan
lipstiknya yang miring kiri kananpun tidak dihiraukan lagi.
Saya tidak mengenal wanita berjilbab yang tidur
berhadapan denganku tetapi saya yakin jilbabnya yang mulai tidak simetris ikut berkata
bahwa “Aku lelah”.
Diatas sofa itulah yang menjadi saksi atas mimpi-mimpi
indah rombongan wartawan menuju Bali dalam rangka menghadiri Hari Ulang Tahun
Epson ke 15 di Indonesia.
Bagian I
Bagian I