
Hayalan masa lalu menyelimutiku “Apakah sejak
kecilku dulu mendapat perhatian dan kasih sayang seperti ini.?” Ahhh…tersenyum
dan berlalu. Itu masa lalu yang tak mesti terungkap walaupun menjadi hantu-hantu
yang lucu.
“Sayang…siang ini kita tidak punya lauk, apa
aku beli sayur matang saja ?, tapi ini ada mie laksa pemberian tentangga,” kata
bidadariku dengan senyumnya. Aku menengok semangkuk laksa itu, “Yah kita kan
bisa makan itu dengan nasi,” aku meyakinkan dia. “Tapi lauknya apa? Aku goreng
telor aja yah.?” dengan merasa bersalah setelah seharian ia bergelut dengan
kesibukan malaikat kecil titipan Tuhan 14 Juli lalu.
Bau telor goreng untuk santapan siang kali ini
begitu menyengat, harumm…dan menggoda selera makan. Rasanya nasi putih dua
piring bisa tak habisin bersama sikecil yang hobi mengacaukan situasi. Sajian
mie laksa, nasi putih dan telor goreng didepanku, aku bersemangat untuk
menyantapnya.
“Bruaaaaaaaaaaaaaaak….” Tiba-tiba terdengan suara bunyi hantaman benda keras dari rumah tetangga sebelah. Rasa penasaran itu mengalihkan pandanganku ke luar rumah dan mencari sumber bunyi tersebut dengan rasa was-was. “Bruaaakkk..buk…buk..buk,” yang disusul dengan suara teriakan dari pria dewasa.
Sajian siang ini terpaksa ditunda, rasa lapar hilang dan tangan mulai mengepal bergetar. Mungkin geram akibat emosi yang tak tersalurkan untuk situasi itu. Aku terdiam dan mencoba menganalisa dari jauh proses percakapan dari balik suara teriakan itu. Terdengar samar-samar, namun dari suara tangis itu sudah dipastikan bahwa kepala rumah tangga dari istana sebelah itu tengah dalam kondisi kritis.
Lagi, suara teriakan keras yang disertai
pukulan bertubi-tubi menjadi penghias alunan gerimis siang. Tiba-tiba saja, seorang
pria keluar dari rumah dengan muka berdarah. Rasa kagum dari pakaiannya yang
begitu berwibawa dengan sehari-harinya mendisiplinkan jiwa-jiwa prajurit garang
yang siap tempur, langsung menciut di pandanganku.
“Tembakkk….saja…!!!,” kataku yang hanya mampu
terucap dalam hati.
1001 macam tanya menggeliat dibenakku, ada
apa, mengapa. Tapi aku tak ingin mencari tahu hal itu sebagai penghormatan dan
belas kasihanku. Aku berusaha mengalihkan pandanganku seolah-olah aku tak
melihat apa-apa. Aku bukanlah seorang penyidik, untuk mencari tahu hal itu
lebih dalam.
Aku menarik nafas panjang, dari kejadian itu,
memeitk hikmah dan menarik banyak pelajaran berharga. Seorang suami pencari
nafkah yang seharusnya pulang disambut dengan senyum dan kasih sayang, sajian
makan siang, dan perlakuan penuh cinta, tiba-tiba mesti menerima kekejaman dari
seorang wanita yang tak lain adalah belahan jiwanya.
“Sudahlah sayang..ayooo kita makan, itu
memang setiap hari seperti itu, walau karena telat pulang. Dan tadi itu hanya
karena persoalan pesanan sepeda motor yang beda warna,” kata bidadariku sambil
menyodorkan piring-piring yang sudah terisi nasi dan lauk.
Malaikatku kupeluk erat-erat dan berdoa, “Tuhan…jauhkan
aku, anak-anakkku, keturunanku, dan saudara-saudaraku dari sikap semena-mena,
damaikanlah keluarga mereka, dan hiasilah rumah tangga kami dengan damainya cinta
dan kasih sayangMu, aamiin aamiin aamiin,”.
Julhan
Sifadi